Senin, 1 September 2008
JAKARTA (Suara Karya): Eksistensi, independensi, dan akuntabilitas Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai pengawal konstitusi harus diperkuat lewat revisi Undang-Undang (UU) MK yang tengah dibahas di DPR.
Ketua Badan Pengurus Harian Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin, melontarkan hal itu kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
Sejak lima tahun ber-diri, MK dinilai telah optimal menjadi peradilan konsitusi. Namun, KHRN mendeteksi sejumlah masalah MK yang harus dipertimbangkan DPR dan pemerintah dalam merevisi UU MK. Antara lain inkonsistensinya pemerintah dan DPR dalam mengeksekusi putusan uji materiil MK.
Firmansyah berpendapat, seharusnya semua pihak harus mematuhi putusan MK sebagai lembaga peradilan. "Namun, kita melihat tidak mudah keputusan MK diikuti, atau direspon positif oleh berbagai elemen masyarakat, pemerintah dan DPR, bahkan ada kecenderungan menolak putusan MK," tuturnya.
UU MK mengatur periodisasi jabatan ketua, wakil dan anggota hakim konstitusi adalah lima tahun dan masih bisa dipilih kembali lima tahun berikutnya.
"Namun, dalam proses pemilihan sangat rentan intervensi dari pihak manapun yang akan mereduksi independensi MK. Karena itu, kita memandang periodisasi masa jabatan harus ditiadakan," ujarnya.
KHRN juga merekomendasikan agar Pasal 50 UU MK dihapus, serta memperjelas kewenangannya dalam menafsirkan UUD, memberikan pertimbangan, keterangan dan nasihat masalah konstitusional kepada siapa pun jika diminta.
"MK sebaiknya juga memiliki kewenangan untuk meminta penghentian sementara proses hukum ketika UU yang menjadi dasar porses hukum tersebut tengah diuji," katanya.
Sementara itu, terkait dengan kewenangan penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara, perlu ditegaskan mengenai lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945.
Mengenai boleh atau tidak hakim konstitusi menggunakan ultra petita atau memutus lebih dari yang dimohonkan, kata Firmansyah, perlu diatur dalam UU MK.
"Selama ini masih terjadi perdebatan apakah hakim konstitusi boleh membuat ultra petita atau tidak," ujarnya.
Ia mengatakan sebaiknya ultra petita itu dibolehkan bagi hakim konstitusi dengan syarat demi pembaruan hukum yang progresif serta berdasar pada asas keadilan dan kemanfaatan.
Menurut dia, ultra petita hanya dilarang pada perkara perdata yang sifatnya individu melawan individu, sedangkan pada ranah peradilan tata negara seperti MK, perkaranya adalah menyangkut kepentingan dan norma-norma umum. "Sehingga sebaiknya hakim konstitusi tetap dibolehkan ultra petita," tegasnya.
Selain itu KRHN menyarankan agar UU MK membuat mekanisme supaya putusan MK benar bersifat final dan mengikat," katanya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto Dokumentasi Humas MK