Impelementasi CEDAW di Indonesia dinilai masih jauh dari harapan. Ada 46 poin tanggapan Komite CEDAW yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintah.
Kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk menyampaikan kemajuan program penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan pada 27 Juli tahun silam tetap belum memberikan keyakinan penuh Komite CEDAW PBB. Committe on the Elimination of Discrimination Against Women itu tetap mengkritisi implementasi CEDAW selama lebih dari dua puluh tahun Indonesia meratifikasinya.
Ada 46 poin tanggapan (concluding comments) yang disampaikan Komite CEDAW PBB. Pada intinya, Komite ini masih merasa prihatin dengan berbagai hal. Salah satu yang disorot tajam adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain regulasi perkawinan, disorot pula kesehatan perempuan, buruh migran, penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif. âUU Perkawinan sangat disoroti oleh Komite CEDAW,â ujar A.D. Kusumaningtyas dari CEDAW Working Group Initiative (CWGI).
Soal UU Perkawinan, misalnya. Komite melihat wet ini masih mengabadikan pandangan streotip yang mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Regulasi perkawinan di Indonesia juga dianggap masih memperbolehkan poligami. Selain itu, dikritik pula penetapan 16 tahun sebagai usia minimum perkawinan yang sah bagi perempuan. Ini berarti sudah dua kali Komite CEDAW menyoroti masalah perkawinan, yakni pada laporan 1998 dan 2007. âHarus dipertanyakan seberapa jauh komitmen dari pemerintah,â ujar Ning, sapaan akrab AD Kusumaningtyas.
Dalam concluding comments, Komite CEDAW mengungkapkan kekhawatiran akibat minimnya kemajuan dalam proses reformasi hukum perkawinan dan keluarga. Akibatnya, tetap ada ketentuan-ketentuan diskriminatif yang menyangkal kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Apalagi amandemen terhadap UU Perkawinan masih belum kunjung selesai. âRevisi UU Perkawinan merupakan stressing point,â tambah Ning.
Berdasarkan catatan hukumonline, sebenarnya aturan poligami dalam UU Perkawinan sudah pernah dimohonkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah, diwakili Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, menegaskan bahwa poligami bukanlah hak asasi manusia sebagaimana didalilkan M. Insa (pemohon judicial review). Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi malah menegaskan bahwa pada dasarnya UU Perkawinan menganut asas monogami. Kalaupun poligami diperbolehkan, harus dipenuhi syarat yang ketat.
Peraturan-peraturan daerah bernuansa diskriminatif mendapat sorotan. Komite CEDAW mendorong Pemerintah untuk meninjau ulang, memantau, dan mengevaluasi perda-perda guna memastikan perda dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional, dan menjamin terlindunginya hak asasi manusia. Komnas Perempuan, seperti dituturkan anggotanya Sri Wiyanti Eddyono, juga mendapati sejumlah perda yang diskriminatif terhadap perempuan. âKalau kita analisis perda-perda ini mendiskriminasi perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung,â ujarnya.
Reformasi Hukum
Rekomendasi komite CEDAW dalam poin ke 11 concluding comments juga mendesak agar pemerintah RI memberikan prioritas tinggi pada reformasi peraturan perundang-undangan ataupun amandemen UU yang masih diskriminatif terhadap perempuan dan bertentangan dengan CEDAW.
Direktur Perancangan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM, Suhariyono menepis anggapan bahwa Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Berkaitan dengan implementasi CEDAW, pemerintah sudah menerbitkan antara lain UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; UU No. 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik; UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Namun demikian, Suhariyono mengakui, masih ada sejumlah RUU yang masih menjadi pekerjaan rumah Pemerintah dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya, RUU Kesehatan, dan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ada sejumlah kendala yang membuat reformasi perundang-undangan tersebut berjalan cepat, salah satunya proses legislasi itu sendiri. âBelum ada kesatuan pendapat mengenai prioritas tahunan prolegnas (2005-2009) terhadap RUU yang diajukan, kurangnya inisiatif dan proses pembahasan RUU yang memakan waktu lama (bertele-tele) menjadi kendala,â ujarnya.
Meskipun mengkritik poin-poin tertentu, bukan berarti tak ada apresiasi positif dari Komite CEDAW. komite menilai positif laporan yang disampaikan Pemerintah RI atas upaya dan kerja keras menghapus diskriminasi terhadap perempuan Indonesia maupun munculnya berbagai UU dan kebijakan baru pemerintah dalam hal penghapusan diskriminasi terhadap perempuan yang telah disebutkan sebelumnya. Apresiasi lain juga disampaikan karena Pemerintah telah memiliki kebijakan pengarusutamaan gender di semua tingkatan, termasuk pembentukan mekanisme pengarusutamaan gender.(M-1)
Sumber www.hukumonline.com
Foto Dokumentasi Humas MKRI