Senin, 1 September 2008 | 00:20 WIB
Yohanes Usfunan
Ke depan, pimpinan Mahkamah Konstitusi bukan hanya bisa bicara dan sebagai selebriti, tetapi harus bisa membawa MK sebagai institusi tepercaya. Hakim konstitusi pada hakikatnya adalah hakim.
Seorang hakim tidak saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang terpenting juga menjaga independensi. Demikian dikatakan hakim konstitusi Mukthie Fadjar dan Akil Mochtar (Kompas, 20/8).
Hakim konstitusi
Pernyataan kedua hakim konstitusi itu mengakui dan menegaskan posisi hakim konstitusi sebagai hakim sesuai Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945. Isinya, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penegasan serupa terkait pertanyaan, siapa berwenang mengawasi hakim konstitusi? Keutusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No 22/ 2004 tentang Komisi Yudisial (KY) dan UU No 4 /2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memangkas sejumlah pasal tentang wewenang pengawasan KY. Pengawasan KY bertujuan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim sesuai Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945. Salah satu butir putusan MK menyebutkan, hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi KY.
Dalam putusan MK (h 174) disebutkan, hakim konstitusi tak diawasi KY karena masa jabatannya lima tahun setelah itu kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi KY karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tak melibatkan KY. Argumen lain, hakim konstitusi tidak diawasi KY karena jika diawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Argumentasi itu menunjukkan, pertama MK tak konsisten dengan pernyataan sikap yang selalu menegaskan lembaga negara ini independen dan imparsial. Artinya, MK dalam menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun, lembaga lain, dan dengan cara apa pun. Pasal 2 UU No 24/2003 tentang MK menegaskan, MK salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, lembaga negara terkesan tidak merespons syarat transparansi dan akuntabilitas dalam penciptaan pemerintahan yang bersih yang gencar dilaksanakan sesuai tuntutan reformasi.
Ketiga, Indonesia sedang giat memberantas korupsi dan mafia peradilan (judicial corruption) sehingga tanpa perkecualian semua lembaga dan pejabat negara wajib terbuka dan mempertanggungjawabkan semua kebijakan.
Keempat, dari perspektif pemerintahan yang bersih, transparansi merupakan hal penting yang harus ditaati tiap pejabat negara dalam melayani masyarakat secara profesional, jujur, dan adil. Maka, hakim agung maupun hakim dalam lingkungan peradilan diharapkan terbuka dalam menjalankan tugas dan wewenang serta berani diawasi.
Kelima, pengawasan KY berhubungan dengan perilaku seorang hakim yang secara preventif bermanfaat mencegah penyalahgunaan wewenang dalam memutus perkara.
Keenam, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan sehingga hakim konstitusi yang menjadi bagian dari hakim wajib diawasi KY. Secara historis dalam risalah perubahan UUD 1945 pun, tidak ditemukan adanya rumusan yang mengatakan, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Maka, secara konstitusional hakim konstitusi adalah hakim menurut Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945.
Konsekuensi putusan MK itu menghambat KY menjalankan wewenang pengawasan terhadap hakim yang dilaporkan terlibat judicial corruption. Pengawasan merupakan unsur penting dalam pemerintahan yang bersih dan demokratis untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Selain itu, judicial corruption menghambat komitmen pemerintah memberantas korupsi.
DPR
Revisi UU KY yang sedang dibahas badan legislasi DPR perlu merumuskan kembali pengawasan KY terhadap hakim konstitusi. Tujuannya, pertama sebagai antisipasi mencegah hakim konstitusi dari kemungkinan terlibat mafia peradilan. Kedua, DPR diharapkan segera mengesahkan revisi UU KY agar wewenang pengawasan KY terhadap hakim terlaksana optimal. Ketiga, revisi itu diharapkan memberi wewenang langsung kepada KY untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang terlibat mafia peradilan. Sebelumnya wewenang KY hanya sebatas mengungkap, memeriksa kesalahan hakim, dan merekomendasikan kepada MA dan MK agar menjatuhkan sanksi. Sanksi kepada hakim yang terbukti kesalahannya berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemecatan.
Yohanes Usfunan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Denpasar Bali
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/01/0020060/siapa.mengawasi.hakim.konstitusi
foto: dok. humas MK