Jakarta, Kompas - Tujuan kebebasan media massa saat ini perlu dipertanyakan. Setelah 10 tahun reformasi, pers yang seharusnya berperan menjadi salah satu pilar penegak demokrasi justru melemah fungsinya. Hal itu ditandai dengan berbagai penyimpangan, mulai dari keberpihakan hingga ketidakprofesionalan media.
Persoalan itu terungkap dalam sarasehan pers nasional bertemakan âMempertahankan Roh Perjuangan Pers Nasional di Era Globalisasiâ di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/8). Sarasehan itu diadakan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan pembicara, antara lain, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, pemimpin Jawa Pos Group Dahlan Iskan, ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana, pengamat militer Kiki Syahnakri, dan pengamat media Suradi.
Tjipta Lesmana menilai, saat ini pers cenderung kehilangan kekritisannya terhadap pemerintah. âPersoalan yang nyata adalah utang dalam negeri berupa surat utang negara yang mencapai Rp 4.400 triliun. Mana pers kita? Kok tidak mengkritisi,â ujarnya.
Ia juga menyoroti kurangnya independensi media massa. Kadang pemberitaan atau penyiaran oleh pers cenderung bias. Bahkan, dia menemukan perumpamaan yang menjadi sindiran bagi media massa, yakni âjangan pernah menggigit tangan yang telah memberi makan kepada Andaâ.
Menurut Jakob Oetama, teori freedom from (bebas dari)-lah yang banyak dianut pers saat ini. Hal itu ditandai dengan keinginan kalangan pers bebas dari berbagai hal. Semangat âbebas dariâ itu wajar terjadi dalam gegap gempita seusai berakhirnya Orde Baru. Namun, diakui masih ada celah yang mengganggu.
âSetelah pers mendapatkan kebebasan, pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa kebebasan yang telah kita peroleh saat ini,â ujar Jakob.
Perkembangan pun terjadi dan membuat pembaca serta pemirsa bertambah cerdas. Sebab itu, media massa seharusnya tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga memberikan sesuatu yang bermutu, memberi alternatif, serta memperkaya sesuatu bagi khalayak. Hiburan bukan segala-galanya. âHal yang bermutu dan laku bisa dipertentangkan. Laku belum tentu mutu, begitu juga sebaliknya,â ujar Jakob.
Informasi yang disuguhkan juga tidak sekadar diinformasikan, tetapi juga dibingkai (frame). Frame yang menjadi perjuangan Indonesia.
Dahlan Iskan menambahkan, perjuangan seharusnya tidak hanya dilakukan pers. Masyarakat, pengusaha, bahkan partai politik mempunyai andil dalam perjuangan untuk mencapai kedewasaan demokrasi. (nit)
Sumber www.kompas.com (29/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK