Hakim Konstitusi menyarankan agar tuntutan provisi, yang meminta agar MK menyurati Kejagung untuk menunggu proses uji materi dalam mengeksekusi, seharusnya dimasukkan ke dalam petitum.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian UU No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU Tata Cara Pidana Mati). Sidang kali ini mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan yang sudah dilakukan oleh kuasa hukum pemohon Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera. Ketiga terpidana mati Bom Bali ini didampingi oleh Tim Pengacara Muslim (TPM), yaitu Achmad Michdan dan Wirawan Adnan.
Namun, meski permohonan telah diperbaiki, Majelis Panel Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Maruarar Siahaan ini masih melihat adanya sela dalam perbaikan permohonan itu. Kritikan yang diajukan Maruarar seputar tuntutan provisi yang akan diajukan oleh kuasa hukum pemohon. Pada sidang sebelumnya, TPM memang telah berjanji akan mengajukan tuntutan provisi. Isinya, permintaan kepada MK agar menyurati Kejaksaan Agung (Kejagung) agar eksekusi Amrozi Cs dilakukan setelah proses judicial review ini selesai.
Maruarar tak melihat permintaan itu dalam petitum permohonan yang sudah diperbaiki. Ternyata, TPM memasukan tuntutan provisi itu ke dalam posita permohonan. âAnda minta putusan provisi, tapi dalam petitum tidak ada masukan,â tutur Maruarar. Padahal, lanjutnya, dasar MK memutus adalah apa diminta atau tertera dalam petitum. âIni perlu diperbaiki,â pinta Maruarar.
Wirawan seakan baru tersadar. Ia mengaku akan merevisi permohonan itu hari ini juga. Dalam hukum acara MK, jangka waktu perbaikan permohonan adalah 14 hari setelah sidang pemeriksaan pendahuluan. Hari ini, Rabu (27/8), merupakan tenggat waktu terakhir dari batas waktu tersebut. Maruarar pun mempersilahkan TPM merevisi permohonan on the spot (ditempat). âBatas waktunya sampai akhir jam kerja hari ini,â tambahnya. Sekitar jam 17.00 WIB.
Wirawan menyanggupi untuk melakukan revisi on the spot. âHari ini juga. Kita akan masukan tuntutan provisi itu ke dalam butir ketiga petitum,â katanya. Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengingatkan bahwa sifat tuntutan provisi itu urgen atau mendesak. âJangan di butir ketiga, tapi di butir pertama petitum,â sarannya.
Arsyad menambahkan tuntutan provisi sejatinya berada di luar pokok permohonan. âTak ada kaitannya dengan pokok permohonan,â tuturnya lagi. Wirawan bisa menangkap maksud Arsyad. Secara teknis, Wirawan mengatakan akan membagi petitum dalam dua hal. Pertama, petitum terkait provisi atau permintaan agar MK menyurati Kejagung untuk menunda eksekusi. Kedua, petitum terkait permohonan yang meminta agar UU Tata Cara Tembak Mati itu diuji baik secara formil maupun materil.
Namun, meski para hakim konstitusi menyarankan agar tuntutan provisi dimasukkan ke dalam petitum, bukan berarti permintaan untuk menunda eksekusi begitu saja dikabulkan. Maruarar kembali menegaskan persoalan ini akan dibawa ke rapat pleno hakim konstitusi. Pasalnya, hukum acara pengujian UU di MK tak mengenal istilah tuntutan atau putusan provisi.
Terpidana bisa memilih
Pemeriksaan persidangan memang belum menyentuh substansi perkara. Masih mempersoalkan tuntutan provisi. Namun, Anggota TPM yang lain, Ahmad Michdan sudah menyembulkan keoptimisan bahwa permohonan ini akan dikabulkan oleh MK. Ia menyadari bila permohonan ini dikabulkan maka bukan hanya berpengaruh terhadap Amrozi Cs, tetapi juga mempengaruhi proses eksekusi terpidana mati yang lain.
Michdan mengatakan bila UU Tata Cara Tembak Mati dinyatakan inkonstitusional oleh MK maka akan terjadi kekosongan hukum. Logikanya, upaya eksekusi harus menunggu UU baru yang akan mengatur tata cara eksekusi mati. Namun, Michdan tak kekurangan akal. Menurutnya, eksekusi mati masih bisa dilakukan walau UU yang baru belum dibuat.
Michdan meminta kepada MK agar menyerahkan pilihan kepada para terpidana mati itu. âKalau nanti peraturannya belum ada, bisa saja terpidana memilih. Mau (eksekusi dengan cara,-red) tetap ditembak, pancung atau suntik mati,â tuturnya.
Namun, ketiga jenis eksekusi ini memang masih dianggap akan menimbulkan penyiksaan. Wirawan punya opsi eksekusi mati yang lebih manusiawi. Yaitu, dengan cara dibius atau anastesi, baru kemudian di eksekusi. Tapi, Wirawan belum mau berbicara lebih lanjut secara teknis eksekusi seperti model ini. âNanti ahli kami yang akan menjelaskan,â pungkasnya. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (27/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK