Proteksi saja tidak cukup menjaga independensi kekuasaan kehakiman. Proteksi menjadi lemah kalau tidak didukung lembaga lain.
Gagasan amandemen UUD 1945 yang diusung Dewan Perwakilan Daerah sudah kandas. Peluang dilakukan amandemen tahun ini pun hampir mustahil, mengingat kesibukan menjelang Pemilihan Umum 2009. Namun begitu, wacana seakan tidak pernah habis mengiringi gagasan amandemen UUD 1945. Salah satunya mengenai perlindungan atau proteksi konstitusi terhadap kekuasaan kehakiman.
Susi Dwi Harijanti mengatakan amandemen UUD 1945 harus memastikan proteksi konstitusi terhadap kekuasaan kehakiman dilakukan secara maksimal. Rekomendasi ini disuarakan ahli hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran Bandung itu, karena UUD 1945 yang berlaku sekarang dinilai hanya memberikan proteksi minimalis. Buktinya, hanya satu pasal UUD 1945 yang menyinggung tentang independensi kekuasaan kehakiman.
Pasal 24 ayat (1) menyatakan: Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Konsep minimalis ini bahkan diikuti oleh sejumlah peraturan perundang-undangan terkait kekuasaan kehakiman.
âKetentuan Pasal 24 ayat (1) tidak cukup menjamin kekuasaan kehakiman dapat berjalan benar-benar independen,â kata Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung ini.
Susi membandingkan UUD 1945 dengan Konstitusi Filipina. Di negeri yang dipimpin Gloria Macapagal-Arroyo, Konstitusi memberikan proteksi yang maksimal atau bahkan cenderung ekslusif terhadap independensi kekuasaan kehakiman. Susi, misalnya, mengutip ketentuan yang menegaskan bahwa anggaran pengadilan harus dijamin oleh negara. Anggaran pengadilan bahkan tidak boleh berkurang setiap tahunnya, meskipun keuangan negara sedang mengalami defisit.
Section 3. The Judiciary shall enjoy fiscal autonomy. Appropriations for the Judiciary may not be reduced by the legislature below the amount appropriated for the previous year and, after approval, shall be automatically and regularly released.
(Sumber: http://www.chanrobles.com/article8.htm)
Karena itu, Susi berharap kelak amandemen menghasilkan pasal-pasal konstitusi yang lebih rinci menjamin independesi kekuasaan kehakiman. Proteksi bisa diwujudkan dalam bentuk jaminan masa jabatan, usia pensiun, anggaran pengadilan, prosedur pendisiplinan, mutasi-promosi ataupun gaji hakim.
Proteksi, menurut Susi, adalah hal penting karena --mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam the Federalist Papers No. 78-- kekuasaan kehakiman merupakan cabang pemerintahan yang paling lemah. Selain itu, sebagai salah satu negara emerging democratic countries (negara transisi), lembaga pengadilan di Indonesia memiliki peran penting dalam pembangunan prinsip rule of law, perlidungan HAM dan reformasi ekonomi.
Susi menambahkan proteksi saja tidak cukup untuk menjamin kekuasaan kehakiman yang independen. Perlu ada pembenahan di sektor lain, khususnya terkait kemunculan lembaga-lembaga baru yang terkait dengan kekuasaan kehakiman seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. âBerbagai proteksi akan menjadi lemah apabila tidak dilakukan upaya perbaikan lain yang muncul sebagai akibat dari praktek yang selama ini berlangsung,â ujarnya.
Tergantung performa
Sepakat dengan Susi, Anggota Komisi Hukum Nasional Frans Hendra Winarta mengatakan kekuasaan kehakiman memang perlu diproteksi. Namun, Frans menekankan proteksi yang dibutuhkan justru proteksi dari segala bentuk intervensi. Advokat senior ini memandang intervensi seringkali menjadi pintu masuk bagi mafia peradilan. Aparat pengadilan, khususnya hakim harus diproteksi dari lobi-lobi para pihak terkait perkara.
âAparat pengadilan juga harus diberi jaminan keamanan supaya bisa menjalankan tugas dengan tenang,â ujarnya. Keamanan, menurut Frans, penting karena faktanya sudah terjadi beberapa insiden di Indonesia. Negeri ini memang sempat dikagetkan oleh kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita atau insiden tewasnya Hakim Agama Ahmad Taufiq akibat ditikam seorang tentara.
Sementara, Wakil Ketua Komisi Ombudsman Nasional Sunaryati Hartono menyatakan proteksi harus berbanding lurus dengan performa. Kondisi pengadilan saat ini, menurut Sunaryati, relatif belum layak untuk diberikan proteksi yang berlebihan. Ia mensyaratkan agar pengadilan membenahi diri terlebih dahulu sebelum Konstitusi memberikan proteksi yang maksimal.
âBuat apa dikasih proteksi kalau performanya masih kurang bagus,â katanya. Sunaryati misalnya menyoroti kualitas putusan pengadilan yang masih memprihatinkan. Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari ketegasan unit pengawasan Mahkamah Agung dalam menindak aparat pengadilan yang nakal. Alih-alih dipecat, hakim bermasalah seringkali dinon-palukan. Ironisnya, hakim non palu lah yang membuat putusan hakim agung. (Rzk)
Sumber www.hukumonline.com (27/08/08)
Foto www.google.co.id