Mahkamah Konstitusi (MK) mulai pekan lalu berganti 'nakhoda". Dia adalah Prof Dr Mohammad Mahfud M.D. yang menggantikan Prof Dr Jimly Asshiddiqie. Mantan Menhan itu punya sejumlah agenda yang akan diwujudkan dalam masa jabatannya. Termasuk menghadapi kemungkinan banyaknya kasus sengketa hasil pemilu. Berikut petikan wawancara Jawa Pos dengan Mahfud.
Selamat! Anda dipercaya menjadi ketua MK (Mahkamah Konstitusi). Apakah publik sudah benar-benar memahami keberadaan MK?
Yang perlu dicatat adalah keberhasilan Pak Jimly. Dia berhasil membawa MK menjadi lembaga sangat terkenal. MK sekarang sudah menjadi kiblat persoalan-persoalan konstitusi.
Coba Anda lihat sekarang, kalau ada orang melanggar HAM, justru dibawa ke MK. Meskipun, wewenangnya untuk mengadili. Kasus Ahmadiyah pun dibawa ke sini.
Kondisi ini menggembirakan. Berarti, MK benar-benar dilihat sebagai kiblat konstitusi. Mungkin, kalau generasi pertama yang memimpin bukan Pak Jimly, belum tentu (MK) bisa seperti ini. Gedung semegah ini, tidak kita bayangkan, itu atas jasa Pak Jimly.
Selain Ketua MK, Anda hakim konstitusi. Posisi hakim harus membatasi bicara ke publik untuk menjaga independensi. Apa komitmen Anda?
Begini, saya tegaskan bahwa saya mau bicara dengan media, tapi bukan menyangkut persoalan politik. Kalau sepanjang persoalan-persoalan penegakan hukum, masih bisa.
Yang pasti, dua hal yang akan saya hindari. Pertama, memberikan komentar terkait kasus yang masuk ke MK. Itu tidak akan saya komentari. Kalau ditanya, saya akan jawab tidak tahu.
Yang kedua adalah persoalan politik. Misalnya, ada yang bertikai persoalan politik, saya tidak boleh bicara. Kalau pasca putusan, itu boleh. Tetapi, saya juga tidak akan melakukannya, biar tidak terkesan membela diri atau mencari benar sendiri.
Bagaimana jika putusan yang dijatuhkan MK justru memicu kontroversi di masyarakat. Anda siap menanggungnya?
Biarkan saja begitu. Putusan itu pasti memicu kontroversi. Sebab, pasti ada satu pihak yang kalah. Hakim, dalam membuat putusan, tidak pernah mempertimbangkan apakah akan muncul kontroversi atau tidak. Itu bukan urusan mahkamah. Mahkamah hanya mendudukkan kasus pada posisinya. Bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Itu tugasnya.
Saat sidang pemilihan ketua MK, ada kritik tajam dari hakim Abdul Mukthie Fadjar bahwa MK terlalu banyak agenda acara. Bahkan, ada harapan agar hakim MK jangan seperti selebriti?
Mungkin, Pak Mukhtie merasakan selama 5 tahun. Saya sendiri belum merasakan begitu. Mungkin, yang dimaksud temu wicara MK dengan partai-partai. Sebenarnya, tidak apa-apa asal umum. Mungkin bukan kritik, hanya lontaran Pak Mukhtie.
Sekarang sengketa hasil pemilu menjadi wewenang MK. Apa persiapan yang sudah dilakukan?
Kalau perangkat lunak, kami sudah menyiapkan. Salah satu di antaranya, peraturan MK (PMK) tentang pemilu legislatif. Pemilu sekarang ada parliamentary threshold (PT), ada batas ambang suara 2,5 persen dari suara sah nasional. Bahkan, memungkinkan perorangan menggugat. Kami membayangkan akan banyak perorangan yang menggugat ke MK.
PT (pengadilan tinggi), misalnya. Orang punya bukti memenuhi PT, pasti akan beperkara di MK. Sekarang kita sudah menyiapkan.
Untuk PMK pilkada, tinggal memberikan sentuhan akhir saja. Tapi, nanti PMK tersebut berlaku mengikat bagi hakim. Namun, produk putusan hasil PMK mengikat ke luar.
Berapa lama idealnya orang beperkara di MK sampai dia mendapatkan putusan?
Sebenarnya tidak ada batasan. Bergantung pada rumitnya kasus. Beberapa waktu lalu ada perkara yang hanya butuh dua kali sidang. Ada yang sejak awal tidak perlu saksi, cukup keahlian para hakim saja.
Misalnya, beberapa waktu lalu ada perkara bahwa UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD. Sebab, peradilan agama hanya memberlakukan hukum perdata Islam. Digugat agar yang berlaku bukan hanya hukum perdata Islam, tetapi semua hukum Islam. Nah, kita bisa menjawab sendiri, tidak perlu undang saksi ahli. Tinggal sidang ketiga dipanggil, dibacakan, lalu ditolak.
Tetapi, ada pula yang lama. Misalnya, soal gugatan para wartawan terhadap pasal-pasal KUHP. Itu lama karena pemohon dan pemerintah sama-sama mendatangkan ahli. Yang pemohon ada saksi dari luar negeri melalui teleconference ke London segala.
Memang, tidak ada patokan. Yang penting perkara masuk, diproses di kepaniteraan paling lama 14 hari. Harus sudah direspons apakah perkara ini memenuhi syarat administrasi awal atau tidak. Kalau memenuhi syarat, dibentuk panel yang terdiri atas tiga hakim untuk menyidang pendahuluan. Baru masuk pleno.
MK, rupanya, lebih cepat menangani perkara, berbeda dengan tumpukan perkara di MA yang tak kunjung selesai?
Kalau di MK, (itu) tidak akan terjadi. Sebab, memang sudah ada standar. Ketika akan baca putusan, naskah putusan sudah final dibacakan bersama. Di sini kalimat per kalimat dibaca bersama.
Putusan MK itu bagus bahasanya. Ilmiah dan tidak terlalu berat. Tidak ikut pakem peradilan umum yang masih pakai bahasa Belanda dan sulit dimengerti.
Bahkan, 15 menit setelah putusan dibacakan bisa diakses melalui website. Kalau yang beperkara, bukan 15 menit lagi. Begitu diketok, tunggu sebentar untuk ditandatangani langsung bisa diserahkan. Tidak perlu menunggu berminggu-minggu.
Bagaimana Anda menanggapi mafia peradilan yang meresahkan itu?
Beperkara di MK gratis. Semua biaya dibebankan negara. Selain itu, perkara di MK memang tidak bisa dimafiakan. Sebab, urusannya undang-undang. Kalau UU dibatalkan, tinggal DPR membuat UU yang baru. Perkara di MK tidak menyangkut kepentingan individu. Dan, selama saya di MK, godaan itu belum pernah ada. (tomy c.gutomo/anggit satriyo/kum)
Sumber www.jawapos.co.id (24/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK