JAKARTA (Suara Karya): Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berpendapat, MK perlu diberi kewenangan menyelesaikan constitutional complaint (keluhan konstitusional). Sebab, banyak perkara yang ditangani MK sebenarnya berada di ranah itu.
"Banyak kasus pada masyarakat yang belum ada salurannya di pengadilan, sementara hak asasi manusia sudah diinjak dan orang tidak berdaya atas nama kepastian hukum karena perkara itu sudah diputus oleh Mahkamah Agung (MA),"kata Mahfud MD pada temu wicara dengan peserta Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada di Gedung MK, Jakarta, Senin.
Jika MK diberi kewenangan, maka MK akan dapat menyelesaikan constitutional complaint. Mahfud kemudian mencontohkan masalah SKB Ahmadiyah. Sebagai sebuah surat keputusan (SK), seharusnya hal tersebut dapat diuji di PTUN. Akan tetapi, melihat sifatnya yang merupakan sebuah peraturan maka PTUN menolak dengan alasan bahwa SK itu harus diajukan ke Mahkamah Agung.
Menurut Mahfud, MK di dunia umumnya memiliki tiga kewenangan. Selain sebagai forum previligiatum dan judicial review, MK juga memiliki kewenangan untuk menerima pengajuan perkara constitutional complaint yang diajukan seseorang kepada MK karena merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Bukan karena berlakunya sebuah undang-undang, tetapi disebabkan putusan pengadilan yang mendasarkan para peraturan perundang-undangan yang keliru.
Saat mendirikan MK, urainya, pembuat undang-undang merasa cukup untuk mengadopsi dengan sedikit perubahan atas dua kewenangan yang pertama tanpa mengikutkan kewenangan constitutional complaint. MK RI hanya bersifat perantara dalam fungsinya sebagai forum previligiatum.
Sampai saat ini, papar Mahfud, MK telah menguji 144 undang-undang. Sementara sejak tahun 1959 hingga 2003 di mana MK dibentuk, belum pernah satu pun undang-undang yang digugat karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut akibat dari ketiadaan aturan yang mengatur masalah tersebut. "Padahal pada waktu itu ditengarai banyak sekali undang-undang yang melanggar UUD 1945", jelasnya.
Era sebelum amendemen, undang-undang harus lahir dari inisiatif pemerintah/presiden, sementara DPR dan parpol hampir tidak berfungsi sama sekali.
Mengenai impeachment (menjatuhkan Presiden dari jabatannya) yang diambil berdasarkan pertimbangan MK, menurut Mahfud, hal itu kecil kemungkinannya. Apalagi kalau kaitannya dengan tindakan presiden menaikkan harga bahan bakar minyak. "Berdasarkan UUD 1945 hanya ada lima hal yang bisa menjadi alasan impeachment, yakni jika presiden terlibat dalam penyuapan, korupsi, penghianatan terhadap negara, melakukan kejahatan besar, dan melakukan perbuatan yang tercela menurut UU. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (26/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK