Fenomena sejumlah parpol yang menggunakan suara terbanyak untuk menetapkan caleg terpilih akan mengundang masalah. Sebab, UU mendasarkan pada nomor urut caleg. "Akan ada pertentangan antara perjanjian perdata dengan UU".
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 semakin mendekat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga semakin sibuk untuk mengurus agar Pemilu kali ini berjalan lancar. Bukan hanya penyelenggara Pemilu yang sibuk, pihak-pihak yang berhubungan dengan Pemilu juga sedang berancang-ancang bersiap diri. Salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga yang dipimpin oleh Mahfud MD ini kebagian tugas memutus sengketa perselisihan hasil Pemilu.
Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie bahkan sudah menginventarisir masalah yang akan dihadapi oleh MK terkait perselisihan pemilu ini. Ia mengatakan penyelesaian perselisihan hasil Pemilu 2009 akan lebih rumit dibanding tahun sebelumnya. âPertama, jumlah pihak peserta pemilu lebih banyak,â ujarnya di MK, Kamis (21/8). Peserta Pemilu 2009 berjumlah 44 parpol, termasuk enam parpol lokal di Aceh.
Bila hanya persoalan jumlah peserta Pemilu yang membengkak mungkin bisa dengan mudah diatasi MK. Namun, meluasnya objek sengketa atau perselisihannya perlu mendapat perhatian khusus. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif memang mengatur sejumlah objek sengketa baru yang bisa ditangani MK.
Pada Pemilu 2004, yang masuk ranah kewenangan MK hanya perselisihan mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi kursi. âCuma itu saja. Hanya yang mempengaruhi kursi,â tegasnya. Karenanya, pada Pemilu 2004, dari kurang lebih 400 perkara yang masuk ke MK, hanya 273 perkara yang benar-benar menjadi objek kewenangan MK.
Pada Pemilu kali ini, Jimly mencatat beberapa tambahan objek perselisihan yang bisa dibawa ke MK. âSekarang ada tambahan. Bukan yang mempengaruhi kursi saja, tapi juga yang mempengaruhi parliamentary threshold,â tuturnya. Sistem parliamentary threshold memang belum dikenal dalam UU Pemilu Legislatif lama.
Jimly juga menyoroti fenomena sejumlah parpol yang menggunakan suara terbanyak untuk menentukan caleg terpilih atau sistem proporsional terbuka murni. Padahal, UU Pemilu Legislatif hanya mendasarkan pada nomor urut caleg atau sistem proporsional dengan nomor urut. Parpol-parpol yang menggunakan sistem suara terbanyak, diantaranya, adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Jimly mengatakan persoalan ini bisa menjadi objek perselisihan yang masuk ke ranah kewenangan MK. âUU secara eksplisit menyatakan yaitu perselisihan hasil suara yang mempengaruhi keterpilihan calon,â ujarnya. Misalnya, contoh Jimly, ada caleg A yang dimenangkan, padahal caleg B merasa dia yang seharusnya dimenangkan. âIni kan jadi rumit,â tambahnya.
Sebagai catatan, UU Pemilu Legislatif memang menggunakan sistem proporsional dengan nomor urut. Dengan sistem ini, caleg di nomor urut teratas yang paling diuntungkan. Sebab, bila jumlah nomor urut bawah tak mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), maka suaranya akan dialihkan ke caleg nomor urut teratas. Beda dengan sistem proporsional terbuka murni yang menganut siapa yang dapat suara terbanyak, ya dia yang melenggang ke Senayan. Nomor urut tak jadi ukuran.
Parpol yang mendasarkan pada suara terbanyak menyadari betul bahwa mereka telah "menyimpangi" UU. PAN telah menyiasatinya dengan membuat perjanjian dengan caleg-calegnya. âKami akan pelajari aspek legalnya. Misalnya dengan membuat perjanjian dengan semua caleg PAN dihadapan notaris dalam menggunakan sistem tersebut,â ujar Sekjend PAN Zulkifli Hasan, beberapa waktu lalu. Janji untuk membuat perjanjian ini sudah ditunaikan oleh Zulkifli. Harapan dengan perjanjian ini adalah tak ada caleg yang protes di kemudian hari.
Jimly menilai upaya membuat perjanjian ini belum tentu efektif secara hukum. Ia mengatakan apabila terjadi persoalan hukum, maka ada dua produk hukum yang bertentangan, yaitu UU Pemilu Legislatif dengan perjanjian perdata yang bersifat internal. âPengadilan harus pegang mana? Pegang UU atau perjanjian,â telisiknya.
Namun, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia itu sudah memiliki pilihan sendiri. âSeharusnya yang dipegang adalah UU,â ujarnya. Artinya, bila persoalan ini dibawa oleh caleg yang merasa dirugikan ke MK, maka upaya "penyiasatan" melalui perjanjian akan sia-sia.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (22/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK