JAKARTA - Persoalan politik bakal semakin ramai masuk ke Mahkamah Konstitusi. Dari inventarisasi lembaga pengadil konstitusi tersebut ada tiga persoalan besar yang berpotensi membuat parpol melakukan gugatan.
Menurut Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar, pemicu pertama sengketa adalah banyaknya partai politik peserta pemilu. Saat ini, di Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah terdaftar 44 partai politik peserta pemilu. Makin banyak peserta pemilu, tentu yang beperkara makin bertambah.
Persoalan yang diajukan, tambah Mukthie, panggilan Abdul Mukthie Fadjar, adalah partai politik yang tidak puas terhadap hasil pemilu. Menurut ketentuan parliamentary trheshold dalam UU Pemilu, caleg yang masuk ke DPR adalah mereka yang mendulang suara minimal 2,5 persen dari total suara nasional. "Kalau pemilih nasional 100 juta orang, berarti parpol yang masuk parlemen minimal harus mengantongi 2,5 juta pemilih," jelasnya.
Nah, yang jadi persoalan adalah parpol yang nyaris meraih parliamentary threshold. "Bagaimana dengan yang suaranya 2,4 juta orang. Tentu mereka tidak puas," ujarnya. Persoalan lain yang bakal menumpuk di MK, tambah guru besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Brawijaya itu, ialah menyangkut penentuan caleg yang duduk di DPR.
Selama ini, ketentuan dalam UU berdasar daftar nomor urut, namun internal parpol biasanya punya ketentuan sendiri, yakni berdasar suara terbanyak. Yang tidak puas tentu berupaya menggugat ke MK. Pada 2004 lalu, menurut Mukthie, MK menerima 273 sengketa hasil pemilu. Berkat kerja keras para hakim, semua gugatan itu bisa dirampungkan dengan baik.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, MK juga menggandeng Polri dan Kejaksaan Agung. "Kalau wilayahnya pidana pemilu, seperti markup, harus ditangani dulu oleh kejaksaan. Ini harus diatur. Jangan sampai MK jadi keranjang sampah," tegasnya. Artinya, persoalan pidana harus rampung dulu sebelum diajukan ke MK.
Untuk menangani sengketa pemilu tersebut, MK menyiapkan beberapa aturan. Yang sudah rampung adalah Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) menyangkut sengketa pemilu di tingkat legislatif. Aturan baru itu saat ini telah diteken mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. "Kalau PMK tentang pilkada, tinggal memberi sedikit sentuhan, selanjutnya akan kelar. Sedangkan regulasi mahkamah terkait pemilihan presiden masih harus menunggu DPR menggedok UU Pilpres."
Bukan itu saja. Menurut Jimly, MK saat ini telah menggandeng 33 fakultas hukum yang tersebar di seluruh Nusantara. Nah, partai politik yang tidak puas nanti bisa mengikuti sidang melalui kampus-kampus tersebut. "Jadi, mereka yang di daerah tidak perlu datang (ke Jakarta, Red). Pemeriksaan sengketa hasil pemilu juga bisa dilaksanakan dari jarak jauh," terangnya.(git/bay/iro)
Sumber www.jawapos.co.id (22/08/08)
Foto Dokumentasi Humas MK