JAKARTA - Langkah Risang Bima Wijaya, mantan pemimpin umum Radar Jogja, dan Bersihar Lubis, kolumnis Koran Tempo, menghapus praktik kriminalisasi pers kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin menolak seluruh permohonan uji materiil pasal-pasal KUHP yang digunakan untuk memidanakan profesi pers.
Risang dan Bersihar sebelumnya mengajukan uji materiil terhadap empat pasal KUHP, yakni pasal 207, pasal 310 ayat (1) dan (2), pasal 311 ayat (1), dan pasal 316. Pasal-pasal tersebut berisi penghinaan lisan, tulisan, fitnah, dan pencemaran nama baik. Mereka meminta MK menguji apakah pasal-pasal itu melanggar isi UUD 1945, khususnya tentang kebebasan berpendapat.
Dalam sidang putusan kemarin (15/8), Risang maupun Bersihar tidak hadir. Mereka mewakilkan kepada kuasa hukumnya dari LBH Pers.
Majelis hakim yang diketuai Harjono menyatakan bahwa nama baik, martabat, dan kehormatan seseorang yang dilindungi hukum pidana tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, hukum internasional juga mengakui adanya perlindungan tersebut. "Apabila hukuman pidana memberikan sanksi pidana terhadap penyerangan martabat dan kehormatan seseorang tidaklah bertentangan dengan UUD," jelasnya.
Pembacaan putusan kemarin hanya diikuti oleh delapan anggota majelis. Ketua MK Jimly Asshiddiqie berhalangan hadir. Dia harus menghadiri acara pidato kenegaraan oleh Presiden SBY di gedung DPR/MPR.
Harjono menambahkan, permohonan Risang dan Bersihar itu sebenarnya merupakan problem penerapan undang-undang, bukan masalah pelanggaran konstitusi. "Permohonan tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak," tegasnya.
Dalam amar putusan, majelis mengutip keterangan ahli yang mewakili sejumlah organisasi wartawan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), misalnya, mendukung penghapusan pasal-pasal pidana karena bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
Dewan Pers menyatakan, pemberlakuan pasal tersebut menimbulkan dampak ketakutan yang berlebihan di masyarakat.
Yang agak janggal adalah pernyataan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang justru menganggap uji material itu sangat berlebihan. Organisasi tersebut menilai pasal-pasal itu justru menjamin pelaksanaan konstitusi. PWI melihat, apabila tidak sesuai dengan keadaan, tentu sudah ada niat pemerintah dan DPR untuk merevisinya. Yang lebih mengejutkan, PWI juga menilai organisasi pers seharusnya tidak bertindak seolah-olah sebagai pahlawan.
Sidang juga membeberkan tafsir pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap pejabat atau penguasa umum. Menurut majelis, martabat dan kewibawaan para pejabat publik memang memerlukan perlindungan tersendiri. Yang pasti, para pejabat memerlukan kewibawaan agar menjalankan tugas dengan efektif. Karena itu, perlu sanksi pidana bagi para pengganggunya. "Mereka menjalankan tugas publik, jadi perlu dilindungi," tambahnya.
Majelis juga menyinggung ketakutan para insan jurnalis bahwa pasal-pasal KUHP tersebut akan memasung kebebasan pers. Menurut majelis, pengujian materiil pasal-pasal KUHP tersebut merupakan ketentuan pidana yang bersifat umum. "Yang perlu diingat pasal tersebut tidak hanya berlaku untuk pers," jelasnya. Dengan begitu, tidaklah salah apabila penuntut umum menjadikan KUHP sebagai dasar tuntutan kasus pidana tersebut.
Apabila insan pers menginginkan aturan khusus mengenai tindak pidana yang dilakukan media massa, harus dijadikan agenda untuk pembaruan hukum pidana. "Jadi harus melalui legislative review," terangnya. Termasuk langkah gugatan perdata apabila merasa dirugikan karena pemberitaan media massa.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Prof Dr Ichlasul Amal amat prihatin dengan keputusan tersebut. "Permohonan tersebut sama sekali tidak dibahas oleh majelis. Pers sekarang akan tetap tertekan," ujarnya.
Bahkan, untuk menyelesaikan persoalan dalam pemberitaan, majelis juga tidak menyebutkan peran undang-undang pers yang memuat hak jawab dan koreksi terlebih dahulu. "Ini saya heran. Majelis sama sekali tidak menyebut pertentangan KUHP dengan konstitusi," terangnya.
Advokat dari LBH Pers Anggara juga menyayangkan munculnya putusan MK tersebut. "MK memberikan kado mengejutkan saat perayaan kemerdekaan," jelasnya.
Putusan itu, kata dia, akan semakin menakutkan masyarakat. "Para pejabat akan semakin sulit dikritik. Saya heran bagaimana bisa pencemaran nama baik sejalan dengan konstitusi. Mengapa hakim bisa menjatuhkan putusan yang demikian konservatif," katanya.(git/agm)
Sumber www.jawapos.co.id.com (16/08/08)
Foto www.google.co.id