JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah pasal soal fitnah dan pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda, yang selama ini ditentang berbagai kalangan, terutama praktisi pers, tetap dipertahankan keberadaannya.
Hal itu ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan penolakan uji materi beberapa pasal KUHP yang diajukan wartawan Bersihar Lubis dan Risang Bima Wijaya.
"Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon ditolak," kata ketua majelis hakim, Harjono saat membacakan putusan uji materi KUHP di Gedung MK, Jakarta, Jumat.
Selain menolak uji materi KUHP, MK dalam persidangan terpisah, kemarin, menolak pula uji materi UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).
Dalam uji materi KUHP, pemohon sebelumnya meminta kepada MK untuk menyatakan beberapa pasal KUHP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 e dan Pasal 28 UUD 1945.
Pasal warisan Belanda itu antara lain Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat "pidana penjara paling lama sembilan bulan atau" dan Pasal 310 ayat (2) sepanjang anak kalimat "pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau". Juga Pasal 311 ayat (1) sepanjang anak kalimat "dengan pidana penjara paling lama empat tahun", Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP beserta penjelasannya.
Menurut majelis hakim, jika yang dimaksud pemohon pasal-pasal yang diujikan meniadakan atau menghilangkan hak kebebasan menyatakan pikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan hak untuk bebas berkomunikasi, maka hal itu tidak benar. Mahkamah menilai konstitusi menjamin hak-hak tersebut. Negara sendiri pun wajib melindunginya.
"Namun, pada saat yang sama negara pun wajib melindungi hak konstitusional lainnya yang sama derajatnya dengan hak-hak tadi, yaitu hak setiap orang atas kehormatan dan martabatnya," papar majelis hakim.
Oleh karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional tersebut, menurut majelis, negara dibenarkan melakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan bebas berkomunikasi.
"Mahkamah tidak berwenang mengubah jenis pidana yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP, sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon. "Hal itu sepenuhnya kewenangan pembentuk undang-undang melalui legislative review," kata majelis hakim.
Uji materi Pasal 23 ayat (1) UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang diajukan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto juga ditolak MK.
Mahkamah berkesimpulan Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang memuat frase "pihak-pihak yang bersangkutan" untuk menentukan pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Majelis hakim berpendapat adanya putusan-putusan Mahkamah Agung (MA) yang menerima permohonan PK oleh jaksa/penuntut umum berdasarkan tafsir yang luas atas frase "pihak-pihak yang bersangkutan", sebagaimana tertuang dalam Pasal 23 ayat (1) UU 4/2004 dengan mengesampingkan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. "Yang menentukan secara limitatif siapa yang berhak mengajukan PK dalam perkara pidana menyangkut penerapan atau implementasi UU, yang tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma dalam Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman," tuturnya.
Putusan sama dijatuhkan MK terhadap uji materi UU Nomor 31 tahun 1999 tentang PTPK, yang diajukan dr Salim Alkatiri.
Majelis hakim pimpinan Harjono berkesimpulan bahwa kerugian yang dialami oleh pemohon lebih merupakan persoalan penerapan norma, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma yang diuji. "Dengan demikian, permohonan yang diajukan tidak beralasan hukum sehingga harus ditolak," ujarnya.
Dalil pemohon yang menyebutkan UU tidak dapat diterapkan mengingat kondisi darurat sipil, menurut hakim, antara rumusan Pasal 3 UU PTPK dan keadaan darurat yang diberlakukan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara sama sekali tidak terdapat hubungan hukum. "Karena Pasal 3 UU PTPK mengatur tentang perbuatan pidana," kata majelis hakim.
Majelis juga menyatakan Pasal 3 UU PTPK tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 28 d ayat (1), Pasal 28 g ayat (2), Pasal 28 i ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (16/08/08)
Foto Dok Humas MK