Proses pemilihan calon hakim MK sudah sampai di tangan Presiden. AMUK MK pun mengajukan serangkaian kriteria yang patut menjadi pertimbangan Presiden.
Gerbong terakhir proses seleksi hakim konstitusi berada di tangan pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menugaskan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk melakukan proses seleksi. Panitia Seleksi (Pansel) yang kemudian dibentuk oleh Wantimpres, pun telah menggelar public hearing (dengar publik) terhadap 15 nama kandidat âtiga diantaranya dinyatakan mundur. Kini publik menanti siapa gerangan tiga hakim konstitusi yang akan dipilih Presiden SBY.
Dihubungi via telepon (12/8), Wakil Ketua II Pansel Mas Achmad Santosa âakrab disapa Ota- mengungkapkan bahwa Wantimpres telah menyerahkan sembilan rekomendasi nama calon hakim konstitusi kepada Presiden SBY. âNamun, hanya enam orang yang lulus passing grade,â tambahnya. Penyerahan rekomendasi ini, lanjut Ota, sekaligus menandakan rampung sudah tugas Wantimpres membantu Presiden SBY menyeleksi calon hakim konstitusi.
Tugas boleh selesai, tetapi sorotan dan kritikan belum berhenti. Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK) yang intens mengawal proses seleksi, mengapresiasi langkah Pansel yang melakukan public hearing secara terbuka. Sayang, keterbukaan itu tidak sepenuhnya diterapkan. Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basyari yang tergabung dalam AMUK, mempertanyakan kriteria apa yang dijadikan dasar Pansel dalam menentukan kandidat mana yang akan diajukan ke Presiden.
âWantimpres tidak mempublikasikan kriteria apa saja yang mendasari rekomendasinya, sehingga tidak dapat dikritisi,â ujar Taufik. Padahal, ia berharap Wantimpres dapat memberikan contoh dan pembelajaran kepada lembaga negara lain, bagaimana menjalankan proses seleksi pejabat publik yang transparan dan akuntabel. Taufik khawatir sikap tertutup justru akan memunculkan kecurigaan Wantimpres disusupi kepentingan politik.
Hermawanto dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta juga menyayangkan sikap tertutup yang ditunjukkan Wantimpres terkait proses penyerahan rekomendasi nama ke Presiden. âHal ini mencederai kerja Wantimpres,â imbuhnya. Proses public hearing yang dijalankan secara transparan, menurut Hermawanto, menjadi tidak berarti jika penyerahan rekomendasi dilakukan secara tertutup.
Menanggapi kritikan ini, Ota menjelaskan bahwa Wantimpres memang tidak bisa mempublikasikan nama-nama calon hakim konstitusi yang direkomendasikan. Ruang gerak Wantimpres memang dibatasi oleh UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres. âKecuali, pihak kepresidenan yang mengumumkan,â tambahnya.
Dalih Ota ditimpali Hermawanto. Ia berpendapat UU Wantimpres memang menyatakan rekomendasi Wantimpres ke Presiden tidak dapat dipublikasikan. Namun, Hermawanto yang seharusnya menjadi rujukan adalah UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). âMemang ada pertentangan antara UU Wantimpres dan UU MK, UU Wantimpres membenarkan adanya rekomendasi secara tertutup sementara UU MK menuntut adanya transparansi,â ujarnya. Pertentangan ini seharusnya âdimenangkanâ oleh UU MK selaku lex specialis.
Pro pemberantasan korupsi
Di luar perdebatan seputar transparansi proses, AMUK berharap nama-nama yang diloloskan Wantimpres memenuhi dua syarat substansial berdasarkan UU MK. Kedua syarat yang dimaksudkan adalah integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. AMUK menyadari kedua syarat tersebut memang sulit diukur parameternya. Oleh karenanya, AMUK memaparkan sejumlah kriteria yang lebih rinci untuk menentukan apakah seorang calon telah memenuhi kedua syarat substansial atau belum.
Seorang calon hakim MK, menurut Hermawanto, dikatakan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, diantaranya, apabila ia memiliki komitmen yang baik dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Hermawanto menganggap adanya komitmen dalam penegakan dan pemberantasan korupsi sangat penting. âKomitmen ini menunjukkan prinsip seorang hakim MK dalam melihat suatu regulasi,â ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Illian Deta Artasari juga menegaskan perlunya komitmen calon hakim MK dalam memberantas korupsi. Ia menambahkan pentingnya komitmen tersebut juga dikarenakan fakta adanya upaya sejumlah tersangka serta terdakwa terkait kasus korupsi yang mengajukan judicial review ke MK.
Selain komitmen untuk memberantas korupsi, AMUK juga menguraikan beberapa kriteria lain untuk menunjukkan integritas dan kepribadian calon Hakim MK. Kriteria-kriteria tersebut, papar Hermawanto, adalah bukan pelaku/pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), memiliki komitmen dalam hal pelestarian lingkungan hidup dan penegakan hidup dan penegakan hukum lingkungan, pribadi yang taat membayar pajak, serta memiliki track record yang baik selama menjalankan aktivitasnya dalam dunia hukum.
Mengenai syarat substansial kedua, yaitu calon yang adil dan negarawan yang memahami konstitusi dan ketatanegaraan, AMUK menuntut pribadi yang memahami hukum konstitusi dan ketatanegaraan karena profesinya baik itu secara teoritis ataupun praktek. Namun demikian, AMUK MK menuntut keahlian khusus di bidang hukum selain hukum konstitusi dan ketatanegaraan. Hal tersebut diperlukan untuk menyiasati luasnya variasi judicial review yang akan ditangani oleh MK.
Hermawanto juga menambahkan kriteria lainya yaitu ia tidak partisan, baik atas dasar agama, etnis atau bahkan gender. Permasalahan gender memang isu baru dalam pemilihan calon hakim MK. Sejumlah pihak berpendapat diperlukannya unsur perempuan dalam susunan hakim konstitusi baru. Namun, Illian mengatakan adanya usulan tersebut jangan membuat adanya hakim perempuan yang dipaksakan masuk ke susunan Hakim MK. âSaya memang perempuan, tapi bukan berarti saya setuju adanya calon hakim perempuan yang dipaksakan hanya untuk memenuhi keadilan gender,â ujarnya. (M-3)
Sumber www.hukumonline.com (13/08/08)
Foto Dok Humas MK