MK tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, karena MK berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan tidak mengikat secara hukum apabila telah terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pengujian materil maupun formil.
Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara 19/PUU-VI/2008, Selasa, (12/8), di ruang sidang MK, Jakarta.
Pemohon adalah Suryani yang memohonkan pengujian UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 (UU Peradilan Agama). Suryani beranggapan bahwa hukum Islam dengan semua cabangnya termasuk hukum pidana (jinayah) harus diberlakukan di Indonesia karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, Suryani meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama dan meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana (jinayah).
Terhadap permohonan yang demikian, MK berpendapat bahwa MK hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau menjadi positive legislator. Mahkamah juga berpendapat bahwa pendapat Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama.
MK juga menyatakan Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. âIndonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing,â kata Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan Pertimbangan Putusan.
Menurut MK, dalam hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.
Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, bagi MK, dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal.
âHukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional,â kata Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang terbuka untuk umum tersebut.
Lebih lanjut, MK berpendapat bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan keseluruhan pertimbangan fakta dan hukum, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. âOleh karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak beralasan, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak,â ucap Ketua MK membacakan konklusi putusan. (Luthfi Widagdo Eddyono)