Rabu, 13 Agustus 2008
JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 49 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU tersebut.
"Mahkamah menyatakan permohonan pemohon ditolak seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie, saat membacakan putusan pengujian UU Peradilan Agama, di Gedung MK, Jakarta, Selasa.
Majelis hakim MK berpendapat dalil-dalil pemohon tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. "Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu," kata Jimly Asshiddiqie, yang juga Ketua MK itu.
Namun, kata majelis hakim pimpinan Jimly, Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat.
"Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa terkecuali," kata majelis hakim.
Penolakan majelis hakim MK tersebut dinilai pemohon, Suryani, tidak logis dan tak beralasan. Sebab, tidak hanya dirinya saja yang merasa UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945, tetapi banyak orang, terutama yang beragama Islam.
Namun demikian, Suryani menyatakan menghormati setiap putusan MK. "Oleh karena setiap putusan MK bersifat final, maka harus saya terima putusan ini walau dengan perasaan yang kurang puas," ujarnya seusai mendengarkan pembacaan putusan majelis hakim MK.
Seandainya ada upaya banding atau kasasi atas putusan MK, Suryani menyatakan akan menempuhnya. "Saya masih merasa ada yang mengganjal dalam putusan MK terkait UU Peradilan Agama ini. Sayangnya, saya tidak memiliki sarana lagi untuk mengajukan keberatan," tuturnya.
Pemohon tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan uji materiil atas UU yang sama pada waktu mendatang. Namun, tentu saja dengan persiapan dan pendalaman yang lebih cermat dan matang.
Ia kemudian menunjuk Al Quran yang begitu rinci dan cermat mengatur soal hidup warga pemeluk agama Islam. "Yang ada dalam Al Quran ini pun kalau bisa dilaksanakan dalam hidup sehari-hari sudah bagus. Jadi, untuk apa lagi diatur dalam UU Peradilan, mubazir," katanya.
Suryani, yang warga Kabupaten Serang, Banten, sebelumnya menyatakan keberatannya atas sejumlah pasal dalam UU Peradilan Agama. Ia menilai pasal-pasal dalam UU Peradilan Agama bertentangan dengan Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Suryani berpendapat peradilan agama harus mengatur pula perkara-perkara pidana, dan bukan hanya perkara perdata saja.
Menurut majelis hakim MK, Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. "Pasal-pasal dalam UU Peradilan Agama itu sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama, dan menurut agamanya," tutur majelis hakim.
Sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka dalil-dalil pemohon yang menyatakan sejumlah pasal dalam UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto Dok Humas MK