Nama Todung yang baru muncul tiga hari setelah pengumuman calon hakim konstitusi ke publik dianggap adanya perlakuan istimewa terhadap Todung. Sanksi Peradi yang mencabut izin beracaranya pun kembali diungkit.
Munculnya nama Todung Mulya Lubis sebagai calon hakim konstitusi melalui seleksi yang dilakukan oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) tak luput dari kritikan. Nama Todung yang muncul secara tiba-tiba mengindikasikan adanya perlakuan berbeda yang diterima oleh pengacara kondang tersebut. Anggota Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK) Hermawanto mengatakan nama Todung baru muncul setelah tiga hari pengumuman 15 calon hakim konstitusi yang akan diseleksi.
Artinya, Todung baru ditetapkan sebagai calon setelah penutupan. âKita mempertanyakan kehadiran Todung. Kesannya ia dapat privelege dari Panitia,â ujarnya di sela-sela Public Hearing Seleksi Hakim Konstitusi di Gedung Watimpres, Jumat (8/8). Seharusnya, lanjut Hermawanto, bila sampai tahap yang ditentukan tak ada jawaban dari si calon maka pintu untuk pencalonan sudah tertutup.
Panitia Seleksi Mas Achmad Santosa mengingatkan bahwa cara penjaringan calon yang ikut seleksi berbeda dengan seleksi-seleksi lain. âIni kita yang minta, bukan dia yang melamar,â tandasnya. Sehingga, ketika Todung menyampaikan kesediannya walau para calon sudah diumumkan, menurutnya, hal tersebut bukan masalah. Ia mengakui bahwa kesedian Todung untuk dicalonkan agak lambat sampai ke kantor sekretariat, sehingga informasi ke publik juga terlambat.
Mas Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santosa, mengungkapkan awalnya Todung memang tak bersedia ditawari sebagai calon hakim konstitusi. Namun, akhirnya ia berubah pikiran. âKita malah berterima kasih ke dia. Tadinya tak bersedia, jadi bersedia,â tuturnya.
Kehadiran Todung pada last minute juga mendapat sorotan dari Panelis yang bertugas mewawancari para calon. Todung akhirnya memang hadir sebagai calon pamungkas yang menutup sesi wawancara itu. Sutandyo, yang bertindak sebagai panelis, menilai ada keragu-raguan pada diri Todung untuk menjadi hakim konstitusi. âAnda baru setuju (ikut pencalonan,-red) pada detik-detik terakhir,â ujarnya.
Todung mencoba memberi klarifikasi. Ia mengakui awalnya memang bimbang untuk masuk bursa pencalonan. Ada beberapa universitas di luar negeri yang memintanya menjadi dosen. Di samping itu, Todung mengatakan pada bulan Oktober ia akan menjabat sebagai Direktur Transparancey International wilayah Asia. âItu akan menyita waktu saya,â ungkapnya.
Namun, Todung menyadari bahwa setelah melanglang buana ke penjuru dunia sebagai aktivis sosial selama bertahun-tahun, sekarang saatnya untuk memberikan sesuatu kepada negara.
Cecaran terhadap Todung tak berhenti sampai situ. Sanksi pencabutan izin berpraktek oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga sempat diungkit kembali dalam sesi wawancara itu. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Todung dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Pasal 15 huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah memuat dengan tegas syarat untuk menjadi hakim konstitusi. Pasal itu menyatakan "Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela".
Todung menegaskan bahwa putusan yang diberikan oleh Dewan Kehormatan Peradi itu tidak adil. âBanyak hal janggal dalam proses pemeriksaan,â ujarnya. Todung mengatakan untuk menjelaskan semuanya perlu waktu yang panjang. Karenanya, ia menyerahkan sepenuhnya kepada Panitia Seleksi. âPenilaian akhir ada pada panitia,â ujarnya pasrah.
Tiga Calon Mundur
Seleksi hari kedua ini yang ditutup oleh Todung, menghadirkan nama-nama tenar dalam bidang hukum. Ada Anggota Komisi Hukum Nasional Fajrul Falaakh, Pakar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Maria Farida Indrati, Dosen Hukum Tata Negara FH UI Satya Arinanto, serta Dosen FH Universitas Tarumanegara, Andayani. Namun, tak seperti pada seleksi hari pertama dimana semua calon hadir mengikuti wawancara, di hari kedua ini ada tiga calon yang tak hadir.
Ketiga calon yang dinyatakan mundur itu adalah Harkristuti Harkrisnowo, Ningrum Sirait, dan Rudy Rizky. Masing-masing punya alasan sendiri. Mas Ota mengatakan Harkristuti tak hadir karena belum memberikan makalah. Pasalnya, pemberitahuan untuk membuat makalah sangat mepet. Sedangkan, Ningrum dan Rudy tak ada kabar yang jelas.
Meski begitu, Mas Ota menjelaskan bahwa proses seleksi tak akan berpengaruh. Panitia Seleksi akan tetap memilih calon yang akan dikirim ke Presiden. âCalon yang dikirim belum pasti,â ujarnya. Ia mengatakan ada kemungkinan Pansel mengirim sembilan atau enam calon. âAtau malah kita hanya kirim tiga orang,â ujarnya. Bila seperti itu, maka ketiga calon bisa otomatis jadi hakim konstitusi karena jatah hakim konstitusi dari Presiden cuma tiga.
Namun, Pansel jangan keburu gede rasa (ge-er) dulu. Simak isu yang akan disampaikan oleh Hermawanto. Berdasarkan informasi yang dia terima, selain seleksi yang dilakukan oleh Watimpres ini, Presiden kabarnya juga melakukan seleksi sendiri. âJadi, mungkin saja Presiden punya pilihan sendiri di luar dari yang diajukan oleh Pansel,â ujarnya. Bila hal ini benar terjadi, lanjutnya, tindakan Presiden inkonstitusional karena tak melibatkan partisipasi publik dalam memilih hakim konstitusi.(Ali)
Sumber: www.hukumonline.com (10/08/08)
Foto: Dok Humas MK