Pemerintah bersikukuh untuk melaksanakan eksekusi mati terhadap para terpidana Bom Bali I. Apapun putusan Mahkamah Konstitusi, eksekusi tetap jalan.
Permohonan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur tata cara eksekusi terpidana dengan cara ditembak mati oleh Amrozi dan kawan-kawan ditepis Pemerintah sebagai dasar untuk menunda eksekusi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) Andi Matalatta memastikan bahwa langkah Amrozi Cs melalui tim pengacara mereka tak akan menyurutkan keputusan Pemerintah melaksanakan eksekusi.
Pada Rabu (06/8) lalu, Tim Pengacara Muslim mendaftarkan permohonan pengujian UU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Wirawan Adnan, pengacara Amrozi Cs, menegaskan bahwa kliennya mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil sekaligus. Eksekusi terpidana mati dengan cara ditembak, bagi pemohon, melanggar hak asasi manusia. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurut Andi, permohonan judicial review atas UU No. 2/PNPS/1964 ke Mahkamah Konstitusi bukanlah upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam hukum acara. Sebagai bentuk penghargaan atas hak asasi manusia, Undang-undang memberikan hak kepada terpidana mati menggunakan seluruh upaya hukum yang tersedia. Bisa saja, melalui upaya hukum tersebut, hukuman yang dijatuhkan berubah. Misalnya, dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. âHukuman bisa diubah dengan upaya hukum,â ujarnya saat ditemui di Gedung Dephukham Jalan Rasuna Said, Jakarta, Jumâat (08/8).
Tetapi menurut Andi, upaya hukum yang dimaksud hukum acara adalah banding, kasasi, peninjauan kembali (PK), dan pengajuan grasi kepada Presiden. Sementara, permohonan pengujian suatu undang-undang terhadap UUD melalui Mahkamah Konstitusi, menurut Andi, bukanlah upaya hukum. Sebab, Mahkamah Konstitusi tidak mungkin mengubah status hukuman mati yang sudah dijatuhkan. âUji materiil bukan upaya hukum,â katanya.
Pernyataan senada datang dari Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga. Kejaksaan selaku eksekutor tetap akan melaksanakan eksekusi terhadap para terpidana mati sesuai koridor yang ditentukan UU No. 2/PNPS/1964, termasuk cara mengeksekusi dengan tembak mati. Dari penjelasan Ritonga, timbul kesan bahwa Kejaksaan sulit mengakomodir cara eksekusi mati selain ditembak. âCaranya masih tetap sama, ditembak mati,â tegas Ritonga.
Kalaupun pada akhirnya nanti Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 2/PNPS/1964 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Kejaksaan tak akan menunda. Waktu eksekusi tidak akan tergantung pada proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. âPutusan MK kan tidak berlaku surut,â ujarnya.
Bisa jadi Ritonga benar. Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa putusan Mahkamah âmemperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umumâ. Pasal 58 menambahkan bahwa UU yang tengah diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (Mon/Nov)
Sumber: www.hukumonline.com (08/08/08)
Foto: Dok Humas MK