Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar, yang ikut seleksi menyatakan, perdebatan apakah hak asasi yang bersifat "non derogable rights" yang ada di UUD 1945 pasal 28I bisa dibatasi atau tidak oleh pasal 28J ayat (2), masih berlangsung di rapat permusyawaratan hakim sampai sekarang.
Seleksi calon hakim konstitusi dari âpintuâ Presiden masih terus berlangsung. Seleksi awal yang dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) telah mengumumkan nama 15 calon hakim konstitusi. Nama-nama yang tak asing lagi di bidang hukum telah terjaring. Bahkan, sampai detik-detik terakhir sempat terjadi perubahan nama-nama calon. Misalnya pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji yang sempat masuk bursa pencalonan, akhirnya keluar. Masuk menggantikannya, pengacara kondang Todung Mulya Lubis. Mulya masuk untuk mencapai angka 15 calon hakim konstitusi.
Salah seorang Panitia Seleksi Irman Putrasidin mengatakan presiden meminta sembilan nama, kemudian memilih tiga nama lagi untuk menjadi hakim konstitusi. Namun, lanjutnya, panitia belum menyepakati angka sembilan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa saja panitia seleksi hanya mengirim enam nama. âKalau memang hanya segitu yang berkualitas,â katanya.
Pengerucutan 15 calon hakim untuk diserahkan kepada Presiden sudah dimulai, Kamis (7/8) di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres). Seleksi yang bertajuk "Public Hearing Seleksi Hakim Konstitusi" ini akan berlangsung selama dua hari. Kesempatan awal diberikan kepada Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fadjar yang menjadi calon incumbent. Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini harus berhadapan dengan para pakar di bidang hukum yang menjadi panelis.
Para panelis antara lain: Prof. Satjipto Rahardjo, Nono Anwar Makarim, Prof. Soetandyo, Franz Magnis Suseno serta Ketua Watimpres Ali Alatas. Tak ketinggalan mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Laica Marzuki yang se-angkatan dengan Mukthie di MK menjadi panitia. Perdebatan kecil antara Laica dan Mukthie pun timbul, layaknya rapat permusyawaratan hakim di MK.
Para penelis mencoba menyelediki pandangan Mukthie seputar hak asasi manusia yang terdapat dalam konstitusi. Yang menjadi topik pertanyaan adalah apakah hak asasi yang terdapat dalam pasal 28I UUD 1945 bisa dibatasi oleh UU. Sebagian orang menganggap pasal ini sebagai non derogable right, yaitu hak asasi yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Sedangkan pendapat lain mengatakan, HAM yang terdapat dalam pasal 28I bisa dibatasi oleh pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
UUD 1945
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dan perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28J ayat (2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hasil rekam jejak yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat untuk Mahkamah Konstitusi (AMUK) menyebut, Mukhtie sebagai hakim yang tak konsisten mengenai hal ini. AMUK yang tergabung dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat menyatakan Mukthie tak memiliki perspektif HAM yang baik. âPada putusan UU Terorisme, ia menyatakan pasal 28I tidak tunduk pada pasal 28J ayat (2). Sedangkan dalam putusan UU Narkotika, ia berpendapat hak untuk hidup dalam pasal 28I tunduk pada pembatasan pasal 28J ayat (2),â demikian yang tertulis dari hasil rekam jejak AMUK.
Berdasarkan catatan hukumonline, dari putusan-putusan MK yang telah diucapkan, tergambar sikap MK. Bahwa, pasal 28I bisa dibatasi oleh pembatasan yang terdapat dalam pasal 28J ayat (2). Hal ini juga senada dengan original intent yang dikemukakan oleh Panitia Ad Hoc (PAH) MPR yang merumuskan perubahan UUD 1945. Dalam persidangan di MK, Mantan Anggota PAH MPR Lukman Hakim Saefuddin mengatakan UUD 1945 tak mengenal konsep derogable right dan non derogable right.
Mukthie akhirnya mengklarifikasi. Menurutnya, perdebatan mengenai itu masih berlangsung sampai saat ini di MK. âSampai sekarang hakim konstitusi masih berdebat,â ujarnya. Bahkan menurut Mukthie, perdebatan ini masih terus terjadi sampai ke hakim konstitusi periode selanjutnya. Namun, mengacu pada putusan MK yang sudah-sudah maka merupakan suatu hal yang wajar bila DPR dan pemerintah sering menggunakan pasal 28J ayat (2) menjadi tameng.
Pro Hukuman Mati
Perdebatan mengenai HAM yang terdapat di pasal 28I âdimana salah satunya menjamin hak hidupâ bisa dibatasi bukan hanya terjadi antara Mukthie dengan panelis. Prof. Ahmad Ali yang tampil pada kesempatan ketiga setelah Mukthie, juga dicecar pertanyaan serupa. Dalam makalahnya yang diserahkan ke panelis, Ahmad Ali memang mengkaji mengenai hukuman mati. Ia menyatakan setuju dengan pelaksanaan hukuman mati bagi kejahatan tertentu, seperti kejahatan perang.
Ahmad Ali menyadari bahwa setelah eksekusi hukuman mati dilakukan, maka tak bisa direvisi lagi apabila ternyata terpidana yang telah dieksekusi itu ternyata tidak bersalah. âMakanya, hakim harus seyakin-yakinnya ketika memutus hukuman mati. Kalau masih ragu-ragu maka pidana maksimal adalah seumur hidup,â tegasnya.
Namun, pendapat Ahmad Ali ini dibantah oleh Laica. Laica menegaskan, pasal 28I yang mencantumkan hak hidup, merupakan non derogable right yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Selama menjabat sebagai hakim konstitusi, Laica melalui beberapa dissenting opinion (pendapat berbeda) memang kerap menyatakan pasal 28I tak tunduk pada pasal 28J ayat (2). Menurutnya, pasal 28 J ayat (2) hanya bisa membatasi HAM yang bersifat derogable rights.
Berbeda dengan Ahmad Ali. Ia keukeuh kalau pasal 28I bisa dibatasi oleh pasal 28 J ayat (2). âIni hak asasi saya untuk berbeda pendapat dengan Prof. Laica,â canda Ahmad Ali yang satu almatater dengan Laica, yakni sama-sama dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Kebebasan Beragama
Pertanyaan serupa juga dikemukakan terkait kebebasan beragama yang terdapat dalam pasal 28I. Adalah panelis Franz Magnis Suseno yang menyanyakannya. Franz menelisik apakah kebebasan beragama juga bisa dibatasi. Ia mengambil contoh kasus yang menimpa jamaah Ahmadiyah.
Namun, sikap Ahmad Ali sudah bulat. Ia tetap beranggapan, semua jenis HAM yang ada dalam pasal 28I bisa dibatasi. âKebebasan beragam itu dijamin oleh konstitusi dan tak bisa ditawar. Tapi bisa dibatasi oleh pasal 28J ayat (2).â Hal serupa juga diungkapkan oleh calon konstitusi yang mendapat kesempatan keempat, Aminuddin Ilmar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini. âBerdasarkan syariat Islam, sudah jelas bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang,â tukasnya.
Pendapat ketiga para calon hakim konstitusi itu memang hampir seragam. Namun, pendapat-pendapat lain dalam topik berbeda juga menyeruak dalam seleksi tahap pertama itu. Pada hari pertama, menampilkan tujuh calon hakim yang dicecar pertanyaan oleh panelis. Mereka adalah Mukthie Fadjar, Achmad Sodiki, Ahmad Ali, Aminuddin Ilmar, Amzulian Rifai, Atip Latipulhayat, Latief Fariqun. Rencananya Jumat (8/7), calon hakim konstitusi yang tampil adalah Dwi Andayani, Fajrul Falaakh, Harkristuti Harkrisnowo, Maria Farida Indrati, Ningrum Sirait, Rudy Rizky, Satya Arinanto, serta Todung Mulya Lubis.(Ali)
Sumber: www.hukumonline.com (08/08/08)
Foto Dok Humas MK