Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Biem Benjamin ditolak untuk seluruhnya. Hal tersebut dinyatakan oleh MK dalam sidang pengucapan putusan perkara 11/PUU-VI/2008, Selasa (5/8), di ruang sidang MK, Jakarta.
Biem yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah memohonkan pengujian Pasal 227 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan Pasal 19 ayat (2), (3), (4), (6), (7), dan (8), serta Pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 29/2007). Pasal-pasal tersebut terkait dengan pengaturan yang meletakkan otonomi DKI Jakarta hanya di tingkat provinsi yang menyebabkan tidak diperlukannya pemilihan bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota secara langsung oleh rakyat di wilayah Jakarta.
MK dalam konklusi putusannya menyatakan bahwa pengaturan yang meletakkan otonomi di DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, yang berbeda dengan otonomi daerah pada umumnya di Indonesia berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7) UUD 1945, adalah konstitusional berdasarkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
MK berpendapat bahwa kedudukan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dengan Pasal 18B UUD 1945 berada dalam posisi yang setara dan mempunyai kekuatan mengikat mandiri secara sama. Hal ini menyebabkan tidak relevan untuk mempertentangkan diletakkannya otonomi DKI Jakarta hanya pada tingkat provinsi, dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Lagi pula, kedudukan Jakarta yang semula hanya sebagai satu kota besar (raya) tidak akan memiliki persoalan konstitusional apapun seandainya hanya diberi kedudukan Kota-Raya Daerah Khusus Ibukota.
Karena kekhususan dan kedudukannya sebagai ibukota negara, dan dalam hubungannya dengan Pemerintah Pusat, maka dipandang perlu untuk memberikan status atau kedudukan kepala daerah dan daerahnya setingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Jadi, kekhususan Jakarta tidak harus dilihat dari Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten/kota yang otonom melainkan harus dilihat sebagai pelaksanaan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, untuk menyusun pemerintahan DKI Jakarta yang mempunyai daerah-daerah di bawahnya, tidak selalu harus dalam bentuk daerah otonom yang bertingkat melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan Jakarta sendiri sebagai daerah khusus.
Pengaturan yang meletakkan otonomi DKI Jakarta hanya di tingkat provinsi pun tidak mempunyai implikasi terhadap kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. âSemua warga negara berhak untuk dipilih dan/atau memilih dalam jabatan pemerintahan yang ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tanpa kecuali, sepanjang syarat-syarat untuk itu dipenuhi. Menurut Mahkamah, pengaturan demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945,â ucap Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Selain itu, menurut MK, tidak adanya hak Pemohon untuk dipilih sebagai walikota di DKI Jakarta dan tidak adanya hak warga Jakarta untuk memilih anggota DPRD kota/kabupaten di DKI Jakarta tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi karena hal tersebut berlaku sama untuk semua warga negara tanpa pengecualian atau pembedaan. Pemberian otonomi terbatas pada tingkat Provinsi DKI Jakarta tidak relevan pula untuk dianggap sebagai perlakuan yang berbeda (unequal treatment) yang dapat menimbulkan kerugian konstitusional warga karena tidak dapat dipilih dan memilih bupati/walikota dan anggota DPRD kabupaten/kota di Jakarta.
Sehingga, MK menyatakan bahwa Pasal 227 ayat (2) UU 32/2004 dan Pasal 19 ayat (2), (3), (4), (6), (7), dan (8), serta Pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 29/2007 tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. âPermohonan Pemohon tidak beralasan, sehingga oleh karenanya permohonan harus ditolak,â ucap ketua MK, Jimly Asshiddiqie dalam sidang terbuka untuk umum. (Luthfi Widagdo Eddyono)