JAKARTA (Suara Karya): Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon yang sedang memegang kekuasaan (incumbent) tidak perlu meletakkan jabatan untuk bisa mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak berlaku surut. Artinya, calon kepala daerah yang sudah mundur permanen sebelum putusan MK dibacakan, tidak bisa kembali mendapatkan jabatan semula.
"Keputusan itu berlaku sejak dibacakan MK. Artinya, hanya berlaku ke depan," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsudin, kemarin, di Jakarta.
Sementara itu, Ketua DPR HR Agung Laksono mengajak semua pihak menghormati putusan MK tentang incumbent ini. "Bagaimana pun itu sudah diputuskan," ujarnya di Jakarta, Selasa. Menurut Agung, sebagai produk hukum, keputusan MK harus dilaksanakan.
Agung mengatakan, keputusan MK itu bisa menjadi pelajaran bagi DPR agar lebih cermat dalam membuat undang-undang. "Dalam membuat undang-undang, jangan sampai ada yang diperlakukan tidak adil," ujarnya.
Di lain pihak, Juru Bicara Depdagri Saut Situmorang mengatakan, pihaknya menghormati putusan MK membatalkan Pasal 58 huruf q UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Untuk itu, katanya, pemerintah bersama DPR selaku pembuat undang-undang akan duduk bersama untuk menindaklajuti keputusan MK itu.
"Beberapa waktu lalu MK juga mengeluarkan putusan atas ketentuan undang-undang yang sama (UU Pemerintah Daerah), yaitu mengenai pencalonan kepala daerah yang membuka ruang bagi calon perseorangan ikut ambil bagian dalam pilkada. Putusan tersebut telah ditindaklanjuti DPR bersama pemerintah dengan melakukan revisi terbatas atas UU No 32/2004 dengan UU No 12/2008," kata Saut, menjelaskan.
Dalam kesempatann terpisah, Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu mengaku tidak terpengaruh putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang mengabulkan sebagian permohonan mantan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP itu. "Saya adalah gubernur yang sah saat ini. Konsentrasi saya adalah meneruskan pembangunan yang kami rencanakan," katanya, di Bandarlampung, kemarin.
Selaku pemohon uji materiil UU No 32/2004 ke MK, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP menyatakan, syarat incumbent mundur dari jabatan manakala ambil bagian dalam pilkada telah merugikan hak konstitusionalnya. Namun, pemerintah maupun DPR mengemukakan alasan kuat terkait persyaratan itu. Mereka berdalih, syarat itu untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh calon yang sedang menjabat.
Sementara itu, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Depkum dan ham Abdul Wahid Masru menerangkan, syarat yang tertuang dalam Pasal 58 huruf q UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 (Revisi UU Pemda) bertujuan agar pilkada berjalan demokratis. "Agar proses pemilihan berjalan secara fair dan bersih, serta menghindari abuse of power," ujarnya.
Senada dengan Abdul Wahid Masru, anggota Komisi III DPR Lukman Hakim Saefuddin mengatakan, ketentuan yang mirip dengan itu sudah ada sejak dulu. Dia menunjuk PP No 6/2005 yang mensyaratkan pegawai negeri sipil (PNS) mundur bila ambil bagian dalam pilkada. "Ketentuan seperti itu sudah berlaku sebelum UU No 12/2008 diundangkan," ucapnya.
Lukman menjelaskan, bila tak mundur, dikhawatirkan incumbent melakukan penyalahgunaan jabatan. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari penggunaan fasilitas jabatan untuk kepentingan kampanye sampai larangan bagi calon yang menjadi saingan menggunakan fasilitas publik. "Bukan hanya dapat merugikan calon lain, bahkan juga merugikan masyarakat karena kepentingan mereka jadi tak terlayani," ujarnya.
Lebih parah lagi, tutur Lukman, di beberapa tempat acap kali terjadi pemanfaatan aparatur pemerintah sebagai tim sukses incumbent. "Incumbent memanfaatkan camat, lurah, sampai kepala desa untuk kepentingan kampanyenya," kata Lukman menceritakan praktik yang terjadi sebelum pengaturan incumbent harus mundur dari jabatannya.
Menurut dia, kemungkinan abuse of power berpeluang terjadi. "Tapi apa itu (incumbent mundur,-Red) satu-satunya cara," ujarnya. Ia menilai, nonaktif dari jabatan saja sebenarnya sudah cukup. Menurut dia, bila ada penyimpangan dalam pilkada maka itu merupakan kewenangan panitia pengawas (panwas).
Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Lampung, Yuswanto, mengatakan, cuti di luar tanggungan negara bisa dilakukan incumbent. Ia menyebutkan, bila seorang incumbent mengajukan cuti jenis itu maka fasilitas jabatannya tak bisa digunakan, sehingga tak ada lagi kekhawatiran terjadinya abuse of power.(Rully/Victor/Kartoyo)
Sumber www.suarakarya-online.com (06 Agustus 2008)
Foto Dok Humas MK