Modernisasi peradilan mutlak dibutuhkan untuk mengubah kultur internal yang birokratis dan tertutup.
Dunia hukum dan peradilan di Indonesia belum mampu mengangkat citra dirinya yang selama ini telah terpuruk di mata masyarakat. Segala sesuatu yang buruk selalu dikaitkan dengan hukum dan peradilan. Problem investasi asing disebut karena ketidakpastian hukum. Hukum menjadi dalih dan alasan untuk segala problem bangsa. Lambat laun citra hukum dan lembaga peradilan menjadi buruk.
Untuk memperbaiki citra hukum yang terlanjur buruk, kalangan akademisi dan ilmuan hukum tidak bisa berdiam diri, berpangku tangan menunggu keajaiban. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengajak kalangan perguruan tinggi, khususnya akademisi hukum hukum, ikut memprakarsai berbagai upaya mengangkat citra hukum dari keterpurukan.
Ajakan itu disampaikan Jimly Asshiddiqie saat memberi pengarahan pada penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) antara Mahkamah Konstitusi dengan 34 perguruan tinggi seluruh Indonesia di Jakarta, Jumat (01/8) pagi. âSudah pada tempatnya akademisi hukum dan ilmuan hukum yang memprakarsai usaha untuk mendobrak keterpurukan itu,â ujar Jimly.
Dalam nota kesepahaman tersebut, kalangan perguruan tinggi akan banyak dilibatkan dalam penyelenggaraan peradilan di MK dengan menggunakan telekonferensi. Sarana yang sama sebenarnya bisa dilakukan untuk kuliah-kuliah hukum jarak jauh.
Akademisi hukum seharusnya merasa ikut bertanggung jawab atas keterpurukan peradilan, sebagai garda penegakan hukum. Keterpurukan itu semakin diperparah oleh kultur aparat peradilan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah modernisasi dunia peradilan, dimana salah satu instrumennya adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Jimly percaya bahwa penggunaan teknologi modern akan mengubah kultur internal peradilan, termasuk administrasi dan manajemen perkara.
Modernisasi peradilan yang bisa mengubah kultur birokratis dan tertutup, pada akhirnya akan menjadikan lembaga peradilan yang ârespectedâ dan ârespectableâ. Peradilan akan menjadi transparan karena menjadi pusat seluruh lapisan masyarakat mencari keadilan.
Kalangan perguruan tinggi perlu mengembangkan berbagai cara dalam rangka membenahi hukum dan peradilan. Pendirian pusat-pusat kajian atau pusat studi bisa jadi menjadi salah satu cara. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Runtung Sitepu, misalnya, coba mengagas pendirian pusat kajian peradilan, yang akan memantau perkembangan lembaga peradilan di Tanah Air. Dalam rangka persidangan di Mahkamah Konstitusi, kini tercatat tidak kurang dari 52 perguruan tinggi yang memiliki Pusat Kajian Konstitusi, atau lembaga sejenis dengan nama berbeda.
Rektor Universitas Indonesia, Prof. Gumilar R. Somantri menyambut baik ajakan Prof. Jimly dan kerjasama MK dengan kalangan perguruan tinggi. Penggunaan teknologi modern di lembaga peradilan diyakini Prof. Gumilar membawa dampak positif dalam membangun kembali kepercayaan publik. Dengan telekonferensi, bukan saja aspek transparansi yang dipertontonkan, tetapi juga proses peradilan yang bisa dilihat seluruh lapisan masyarakat. âProses peradilan bisa dilihat, real world,â ujarnya.
Kalangan petinggi hukum pun sebenarnya sudah lama menyadari citra buruk lembaga yang mereka pimpin. Kesadaran itu pula antara lain yang mendorong para petinggi hukum empat tahun lalu mengadakan Pertemuan Puncak Pejabat Tinggi Negara di Bidang Hukum dan Peradilan serta Pimpinan Profesi Hukum, yang lebih dikenal sebagai Law Summit. Sayang, hingga kini, implementasi dari hasil pertemuan puncak itu belum jelas ujungnya.
Alih-alih berhasil sepenuhnya menumbuhkan kepercayaan publik dan memperbaiki citra seperti diharapkan Jimly. Yang terjadi justru sebaliknya ketika penyidik KPK berhasil membongkar kasus demi kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. (Mys/M-4)
Sumber www.hukumonline.com (01 Agustus 2008)
Foto Dok Humas MK