Tody Daniel Mendel, ahli dari Kanada, mengaku tak memiliki agama ketika menyampaikan keterangan di sidang MK. Padahal, Peraturan MK tentang pedoman beracara dalam pengujian UU hanya mencantumkan lafal sumpah atau janji bagi seorang ahli yang menganut salah satu agama.
Namanya Tody Daniel Mendel. Pria asal Kanada ini mengaku tak memiliki agama. Tak jelas, apakah ia seorang atheist yang tak mengakui adanya Tuhan atau sekedar tak beragama tapi tetap mempercayai Tuhan. Namun, posisi Mendel sebagai ahli di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Rabu (23/7), jadi isu hukum sendiri. Sekedar mengingatkan, Mendel tampil di MK melalui teleconference sebagai ahli dari Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis yang menguji sejumlah Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam KUHP.
Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie sempat menegaskan keyakinan yang dianut Mendel ini. âTody Mendel tak beragama ya? Bagus juga itu,â candanya. Saat ini, majelis hakim konstitusi memang sedang mengumpulkan saksi dan ahli baik dari pemohon dan pemerintah untuk mengambil sumpah atau janji. âPak Djafar Assegaf dan Mudzakkir masih beragama kan? belum pindah?â tuturnya kepada dua ahli yang dihadirkan pemerintah.
Akhirnya, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menuntut Tody mengucapkan janji. âOleh karena anda mengaku tak memiliki agama, maka kita akan ambil janjinya saja,â ujar Maruarar. Tody pun segera mengikuti ucapan Maruarar. âSaya berjanji sebagai ahli akan menerangkan yang sebenarnya sesuai keahlian saya,â sebut Mendel.
Masalah sumpah dan janji merupakan suatu hal yang penting dalam hukum acara di MK. Peraturan MK No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bahkan telah menetapkan lafal sumpah dan janji berdasarkan masing-masing agama yang dianut ahli. Sayangnya, lafal tersebut tak ada untuk orang seperti Mendel. Seseorang yang tak memiliki agama.
Peraturan MK No. 6/PMK/2005
Pasal 22 Ayat (3)
Pemeriksaan ahli dimulai dengan menanyakan identitas (nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) dan riwayat hidup serta keahliannya; dan ditanyakan pula kesediannya diambil sumpah atau janji menurut agamanya untuk memberikan sesuai dengan keahliannya.
Ayat (4)
Lafal sumpah atau janji ahli adalah sebagai berikut:
âSaya bersumpah/berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian sayaâ
Untuk yang beragama Islam didahului dengan âDemi Allahâ
Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan âSemoga Tuhan Menolong Sayaâ
Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan âOm Atah Parama Wisesaâ
Demi Hyang Buddha saya bersumpah...â diakhiri dengan âSaddhu, Saddhu, Saddhuâ
Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing
Jimly, dalam website pribadinya, menuliskan kalau ada ahli yang tak beragama maka yang diambil bukan sumpah melainkan janjinya. Ia menjelaskan di pengadilan manapun hal seperti ini lazim terjadi. Bahkan, selama lima tahun keberadaan MK, kehadiran orang seperti Tody ini bukanlah hal yang baru. âSeperti ketika pengambilan janji para ahli dalam perkara pidana mati tempo hari,â jelasnya.
Saat itu, Jimly memang sempat menanyakan kepada ahli William Schabas, apakah bersedia untuk diambil sumpah atau berjanji menurut agama atau berjanji saja. Schabas pun memilih berjanji tanpa mengkaitkan dengan agama. âI would be happy to make a solemn declaration to take a vow. I am not a Catholic, I would prefer to do secular affirmation if this possible,â ucap Schabas kala itu.
Lebih lanjut, Jimly menambahkan di kalangan agama Katolik dan Protestan juga biasanya tak mengucapkan sumpah tetapi janji. Namun, baik sumpah dan janji mempunyai kedudukan yang sama. âKalau sumpah atau janji dilanggar yang bersangkutan bisa terkena pasal pidana sumpah palsu atau janji bohong atau setidaknya melakukan perbuatan tercela,â jelasnya lagi.
Ketentuan yang dimaksud Jimly adalah Pasal 242 ayat (1) KUHP. Pasal itu menyatakan âBarangsiapa yang dalam hal peraturan perundangan menentukan pemberian keterangan harus di atas sumpah atau kepada keterangan itu dihubungkan dengan suatu akibat-hukum, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, secara lisan atau tertulis, olehnya sendiri atau oleh kuasa khusus yang ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahunâ. Ayat (3) pasal itu menegaskan persamaan kedudukan antara sumpah dengan janji.
Jimly menjelaskan keterangan ahli sangat penting. âMeskipun tidak bersifat mutlak, mempunyai daya ikat bagi hakim sebagai rujukan dalam memeriksa perkara yang ditangani,â jelas Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.
Tak Masalah
Kuasa Hukum Pemohon Anggara, yang menghubungi Tody sebagai ahli, menyatakan keyakinan yang dianut ahli perbandingan hukum internasional itu bukanlah masalah. Meski tak di sumpah, âtoh dia tetap berjanji,â tuturnya. âBuktinya, majelis hakim menganggap itu bukan masalah,â jelasnya lagi.
Ahli dari pemerintah yang menjadi lawan debat Tody, Mudzakkir pun senada dengan Anggara. âSecara prinsip sumpah dan janji mempunyai kekuatan atau status yang sama,â jelas Pakar Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia ini. Meski menganut agama tertentu, Mudzakkir pun bisa saja memilih untuk berjanji. âKalau saya tak mau bersumpah, tapi saya memilih berjanji saja. Itu juga bisa,â tambahnya.
Namun, Mudzakkir menilai ini memang efeknya bila orang asing ikut berpendapat dalam persidangan. âItulah repotnya kalau orang asing dijadikan ahli,â kritiknya. Kalau orang Indonesia pasti punya agama ya pak!(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (25 Juli 2008)
Foto Dok Humas MK