Peraturan internal Kejaksaan yang harus diawasi, jangan sampai dijadikan alat menumpuk kekayaan.
Hari Bakti Adhyaksa ke-48 pada 22 Juli lalu selayaknya dijadikan momentum untuk introspeksi bagi seluruh aparat Kejaksaan. Program apapun yang ditargetkan, sulit mencapai sasaran tanpa dibarengi perubahan kultur yang korup. Upaya memberantas korupsi yang didengung-dengungkan petinggi Kejaksaan malah menjadi ironi ketika oknum jaksa tersangkut perkara korupsi.
Jika perubahan kultur ada pada tataran implementatif, Abdul Fickar Hadjar malah melihat adanya problem pada tataran normatif. Praktisi hukum ini melihat UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan kurang menangkap spirit pemberantasan korupsi itu sendiri. Dalam hal ini, Fickar tak hanya menyalahkan petinggi Kejaksaan, tetapi juga anggota DPR yang menyusun Undang-Undang tersebut empat tahun silam.
Fickar coba membandingkan dengan UU No. 30 Tahun 2002. Wet ini merupakan payung bagi pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu pertimbangan pembentukan KPK, menurut UU No. 30 Tahun 2002, adalah karena lembaga yang menangani perkara korupsi âKejaksaan dan Kepolisian -- âbelum berfungsi secara efektif dan efisienâ. Penanganan korupsi secara konvensional tak bisa diandalkan lagi, karena korupsi sudah kian sistematis dan melingkupi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Korupsi menjadi extra ordinary crime.
Jadi sebenarnya, sejak 2002, para pembentuk undang-undang sudah menyadari kegagalan pemberantasan korupsi oleh lembaga konvensional seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Sayang, kata Fickar, para pembentuk undang-undang seperti melupakan atmosfir kegagalan itu ketika menyusun dan membahas UU No. 16 Tahun 2004, dua tahun setelah UU KPK disahkan. Pada bagian konsiderans UU Kejaksaan, tak disinggung sama sekali atmosfir kegagalan pemberantasan korupsi tersebut dan upaya rekonstruktif yang mesti dilakukan Kejaksaan. âNuansanya seolah-olah Kejaksaan telah berfungsi efektif dalam pemberantasan korupsi, padahal nyatanya tidak,â ujar Fickar.
Alih-alih membuat aturan yang mendorong Kejaksaan lebih efektif bertugas memberantas korupsi, para pembuat dan penyusun UU No. 16 Tahun 2004 malah tetap mempertahankan wewenang luas Kejaksaan. Fickar berpendapat bahwa kewenangan Kejaksaan saat ini terlalu gemuk, karena itu perlu dirampingkan. Ia percaya luasnya kewenangan turut memberi andil pada potensi penyimpangan dan kerusakan di institusi Kejaksaan.
Selain mengurusi tindak pidana khusus (korupsi dan HAM), Kejaksaan juga menangani tindak pidana umum, perdata dan tata usaha negara. Kewenangan jaksa dalam perdata dan tata usaha negara, menurut pria yang berprofesi sebagai advokat tersebut, seharusnya dihapuskan karena prinsipnya yang mewakili para pihak di pengadilan âtermasuk negaraâadalah advokat. Fickar meminta agar kalangan DPR segera merevisi UU No. 16 Tahun 2004 untuk lebih mengakomodir spirit pemberantasan korupsi.
Namun, anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari kurang sepakat terhadap gagasan mendahulukan amandemen UU Kejaksaan. Politisi PDI Perjuangan ini menilai jauh lebih penting mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan internal yang diterbitkan Kejaksaan. Misalnya Peraturan Jaksa Agung No. 067/A/JA/07/2007 tentang Kode Prilaku Jaksa. âKalau amandemen Undang-Undang, prosesnya agak panjang,â ia memberi alasan.
Pengawasan atas implementasi aturan internal penting agar jangan sampai digunakan untuk menumpuk kekayaan. Selain itu, implementasi kode etik perlu terus menerus didorong; sebaliknya spirit membela korps yang berlebihan harus dikikis. Eva dan Fickar justeru menyayangkan Komisi Kejaksaan yang terbukti tidak bisa berperan banyak mengawal pembaruan di Kejaksaan Agung. Komisi III DPR sendiri sudah berkali-kali menagih komitmen Jaksa Agung untuk melakukan pembaruan signifikan, terakhir ketika DPR dan Kejaksaan menggelar Rapat Kerja pada 25 Juni lalu.
Berdasarkan catatan hukumonline, kritik terhadap kewenangan Kejaksaan bukan hanya datang dari Fickar. Kepolisian juga menyampaikan kritik serupa sebagaimana terungkap dalam persidangan pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, MK meminta pembuat undang-undang mempertegas kewenangan jaksa dalam penyidikan, khususnya tindak pidana korupsi. Pada tataran akademis, advokat OC Kaligis juga mempersoalkan kewenangan jaksa yang begitu luas dalam perkara tindak pidana korupsi, dimana jaksa bisa bertindak sebagai pelapor, penyelidik, penyidik, dan penuntut sekaligus. Kaligis mengangkat masalah ini dalam tesis magisternya di Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, dan sudah dibukukan.
Saat menyampaikan pidato pada Hari Bakti Adhyaksa ke-48, Jaksa Agung Hendarman Supanji meminta jajarannya untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan mengedepankan moral yang baik. Selain itu, segenap aparat Kejaksaan diminta mengembalikan âcitra dan kredibilitas Kejaksaan melalui kerja keras serta bukti-bukti nyataâ. (Mys)
Sumber www.hukumonline.com (24 Juli 2008)
Foto www.google.co.id