Ahli dari Kanada Toby Daniel Mendel mengatakan sejumlah negara di dunia telah mengalihkan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik menjadi perdata. Meski beberapa negara Eropa masih mempertahankan sanksi penjara dalam sistem hukumnya, namun sudah jarang sekali diterapkan dalam praktek.
Sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) siang itu berbeda dari biasanya. Sebuah kotak besar berukuran besar dihadirkan di ruang sidang sejajar dengan kursi pengunjung sidang. Kotak besar itu digunakan untuk penerjemah dalam melaksanakan tugasnya.
Siang itu, MK memang sedang menggelar teleconference untuk mendengarkan keterangan ahli yang berada di Kanada. Walaupun ini bukan teleconference yang pertama di MK, tapi cukup membuat sejumlah wartawan antusias meliputnya.
Yang ditunggu pun sudah muncul di layar lebar persidangan. Dia adalah ahli perbandingan hukum internasional. Namanya, Toby Daniel Mendel. Pria yang mengaku telah 15 kali datang ke Indonesia ini menguraikan seputar pencemaran nama baik berikut sanksinya serta tren global yang berlaku di negara-negara dunia terkait tindak pidana itu.
âBanyak negara telah meninggalkan sanksi pemenjaraan pencemaran nama baik,â ujar Mendel di balik layar, Rabu (23/7). Ia mencatat negara-negara yang sudah meninggalkan sanksi pidana itu, di antaranya, Amerika Serikat, beberapa negara Asia, Meksiko, Georgia. Negara-negara tersebut, lanjut Mendel, tak lagi mengenakan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik atau penghinaan melainkan sudah beralih ke gugatan perdata.
Mendel mengatakan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik terlalu berlebihan. âBisa membatasi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pendapat seseorang,â ujarnya. Padahal, menurutnya kebebasan seseorang untuk berpendapat sangat penting. Yaitu, untuk memperkuat demokrasi, memerangi korupsi, serta mengungkap kebenaran yang disembunyikan. âKalau sanksi terlalu berat, individu akan semakin takut membuat pernyataan,â tambahnya.
Sekedar mengingatkan, permohonan uji materi yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis memang mempersoalkan pasal-pasal yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP. Pasal-pasal yang digugat adalah, Pasal 207, Pasal 310, Pasal 311 serta Pasal 316. Khusus Pasal 310 dan Pasal 311, pemohon mempersoalkan sanksi pidana penjara bagi pelaku pencemaran yang dianggap terlalu berat.
Hakim Konstitusi HAS Natabaya tak puas dengan tren global yang dijelaskan Mendel. Natabaya mencatat masih banyak negara-negara Eropa yang mempertahankan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik. Di antaranya, Jerman, Swedia, serta Belanda. Ia pun mengutip ketentuan Pasal 185 KUHP Jerman untuk memperkuat pendapatnya. âDi negara modern dan demokratis seperti mereka saja masih mempertahankan sanksi penjara bagi pelaku pencemaran nama baik,â tegasnya.
Mendel pun segera mengklarifikasi. Ia mengakui bahwa benar negara-negara tersebut masih mempertahankan sanksi pidana bagi pelaku pencemaran nama baik. âTapi prakteknya, sanksi penjara tersebut sudah jarang sekali digunakan,â jelasnya.
Lebih jelas, Mendel mengutarakan kebebasan berekspresi atau berpendapat memang bukanlah hak yang mutlak. Hak tersebut bisa saja dibatasi. Asal tidak terlalu berat, seperti dengan sanksi pidana, sehingga membuat individu takut mengeluarkan pendapatnya.
Ahli dari pemerintah, Mudzakkir justru mengkritik dihadirkannya ahli dari luar negeri ini. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia ini meminta untuk melihat norma hukum pencemaran nama baik di KUHP harus dipahami dengan konteks hukum Indonesia. âGunakan corak hukum Indonesia,â pintanya.
Mudzakkir menggugat contoh beberapa negara yang dikemukakan oleh Mendel. âItu tak berlaku universal,â katanya. Ia menegaskan setiap negara mempunyai corak hukum masing-masing. Buktinya, ada ilmu perbandingan hukum. âKarena memang ada perbedaannya,â tambahnya lagi.
Mendel seperti sudah tahu kritikan semacam ini akan keluar. Sejak awal, ia memang menegaskan akan berbicara seputar hukum internasional yang berlaku universal. âTugas anda memang mengacu kepada konstitusi,â ujarnya kepada sembilan hakim konstitusi. Tapi, perlu diingat, hukum internasional merupakan salah satu sumber hukum bagi UUD 1945.
Wartawan Beda "Madzhab"
Persidangan semakin seru. Perdebatan bukan lagi antara dua ahli hukum beda negara, tetapi juga merembet ke dua wartawan senior. Mereka adalah Atmakusumah Astraatmadja dan Djafar Assegaf. Posisi keduanya pun terbelah, bila Atmakusumah hadir sebagai ahli pemohon, Djafar datang bersama dengan Mudzakkir sebagai ahli dari pemerintah.
Atmakusumah mengutarakan sanksi penjara dalam pasal-pasal pencemaran nama baik itu memang sudah sepatutnya dihilangkan. Pasalnya, sanksi penjara itu justru telah menghambat kebebasan pers. Ia pun mengkritik pihak-pihak yang masih berusaha mempertahankan pasal-pasal itu dalam KUHP yang merupakan produk kolonial.
Djafar mengaku tak sependapat. Salah satu pimpinan Media Group ini mengatakan pasal-pasal yang memuat sanksi pidana bagi pelaku pencemaran nama baik itu masih dibutuhkan. âUntuk menjaga kehormatan dan nama baik tiap anggota masyarakat,â jelasnya.
Menurut Djafar, pasal tersebut harus secara jelas dipahami oleh wartawan. âPencemaran nama baik merupakan tindakan yang tak terpuji dan bukan bagian dari jurnalistik,â tegasnya.
Djafar pun menceritakan sedikit seputar kasus yang menimpa wartawan senior Mochtar Lubis. Kala itu, Mochtar diadili karena menyebut menteri âsontoloyoâ. Dalam persidangan, ahli bahasa jawa mengatakan kata âsontoloyoâ bukanlah termasuk penghinaan. Lalu, majelis hakim membebaskan Mochtar. Kemudian, Mochtar diadili kembali karena menujukan kata âdunguâ dan âbahlulâ kepada seseorang dalam tulisannya.
Djafar menganggap kasus ini merupakan pelajaran bagi wartawan. âKami sebagai wartawan belajar menggunakan kata-kata yang tepat,â katanya. Ia juga menambahkan perbendaharaan kata yang dimiliki wartawan harus diperbanyak. Selain itu, ia memandang penerapan pasal pencemaran nama baik dan sanksinya ini justru untuk menjaga kedamaian. âOrang kalau dimaki kan bisa sampai berkelahi,â tambahnya.
Dua ahli hukum beda negara dan dua wartawan senior berdebat sengit. Namun, yang diuntungkan adalah Ketua MK Jimly Asshiddiqie. âAda sesama wartawan senior beda madzhab,â candanya. Jimly justru menganggap perdebatan-perdebatan ini memperkaya persidangan. âIni perdebatan sehat,â tambahnya. Jimly tak lupa memberi sedikit rambu. Dalam persidangan, lanjut Jimly, juga berlaku ketentuan konstitusi. âSemua boleh berbeda pendapat, tapi pihak yang berseberangan harus menghargai pendapat orang lainâ. (Ali)
Sumber www.hukumonline.com (24 Juli 2008)
Foto Dokumentasi Humas MK