Mahkamah Konstitusi ( MK ) menggelar sidang Pengujian Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ) terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 310 Ayat (1), (2), Pasal 311 Ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP,dengan Pemohon Risang Bima Wijaya, S.H.,wartawan sekaligus Pemimpin Umum Radar Jogja, dan Bersihar Lubis, kolumnis Koran Tempo. Sidang dilaksanakan pada Rabu 23 Juli 2008, dimulai pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Pemohon, ahli pemerintah, dan pihak terkait.
Para Pemohon menganggap rumusan delik dalam KUHP, khusunya dalam pasal 311 Ayat (1) dan Pasal 310 bukanlah delik yang secara tegas menganut asas âlex certaâ, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dan rentan terhadap tafsir sepihak. Dengan berlakunya ketentuan-ketentuan tersebut , para Pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena sebagai wartawan dapat dengan mudah dipidana akibat menggunakan hak dan kewenangan konstitusionalnya yang telah dijamin dalam Pasal 28 E Ayat (2) dan Ayat (3) serta Pasal 38F UUD 1945.
Mereka juga berpendapat bahwa Pasal 207 KUHP telah memberikan perlindungan dan perlakuan istimewa terhadap pejabat negara dan telah menyingkirkan prinsip persamaan dimuka hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 207 KUHP juga dianggap telah mengancam kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, serta kepastian hukum.
Para Pemohon merupakan Wartawan yang telah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan penghinaan dan pencemaran terhadap Tommy winata melalui berita / tulisan di media cetak. Majelis Hakim Pengadilan menghukum para Pemohon dengan menggunakan ketentuan yang di mohonkan untuk diuji tersebut.
Mengawali persidangan, saksi Pemohon, Ahmad Taufik menguraikan bahwa pemidanaan yang pernah terjadi pada dirinya menyebabkan aktivitas kesehariannya sebagai wartawan terganggu sehingga menyebabkan turunnnya kesejahteraan, baik lahir maupun batin. Selain itu juga dampak yang disebabkan dari pemidanaan tersebut adalah ia menjadi sosok yang tidak tidak dipercaya lagi oleh para narasumber, yang kedepannya sangat berpengaruh pada pekerjaanya sebagai wartawan.
Ahmad Taufik juga menambahkan bahwa dirinya meminta Majelis Hakim Konstitusi untuk menghapus pasal penghinaan dalam UU KUHP. Karena pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut merenggut kebebasan bersuara dan berpendapat.
Permintaan Ahmad Taufik ini senada dengan pernyataan ahli Pemohon, Yenti Garnasih. Yanti menyatakan bahwa Pemidanaan adalah tindakan terakhir (Ultimum Remedium). Ia juga menambahkan bahwa suatu tindakan bisa dianggap sebagai tindakan pidana bila tindakan itu termasuk perbuatan tercela,dan adanya pengakuan dari masyarakat bahwa tindakan itu termasuk tindakan pidana. âJadi, jangan menggunakan pidana karena alasan-alasan emosional,â tegas Yenti.
Selain menyertakan ahli dari dalam negeri, Pemohon juga menyertakan ahli dari luar negeri melalui teleconference yaitu Toby Daniel Mendel, pakar hukum Komperatif dan Hukum Internasional, asal Kanada. Dia merujuk pada Resolusi PBB tahun 1946 dari sidang Umum PBB, bahwa kebebasan berpendapat adalah hal yang penting secara fundamental sebagai aspek demokrasi. Mendel pun menegaskan bahwa kebebasan berpendapat sangat penting sebagai dasar semua kebebasan
Menanggapi pernyataan dari saksi atau pun ahli Pemerintah, yakni Dr. Muzzakkir, S.H.,M.H. dan Djafar Assegaf, menjelaskan bahwa Pasal-Pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji atau dihapus adalah pasal yang didalamnya terdapat tujuan menjaga nama baik orang lain,. Karena itulah Pasal-Pasal tersebut harus dihormati semua orang, khususnya kalangan Pers.
Sebelum menutup persidangan, ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menawarkan untuk diadakan sidang tambahan guna memberi kesempatan kepada Pemohon dan Pemerintah untuk menghadirkan ahli tambahan yang akan menjelaskan konstitusionalitas maupun inkonstitusionalitas Pasal-Pasal yang diujikan. (M.Rezeki Kurniawan)