SEJUMLAH negara telah menghapus ketentuan pidana yang mengancam tugas profesional wartawan. Seperti pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel) dan kabar tak pasti (false news).
"Pasal-pasal itu tidak lagi popular, sukar dibuktikan secara faktual karena sering berupa pendapat subyektif, dan menimbulkan multi-interpretable atau banyak penafsiran," kata pengamat media Atmakusumah Astraatmadja, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, kemarin (23/7).
Atmakusumah menjadi saksi ahli pemohon dalam sidang uji materi terhadap pasal-pasal yang menghambat kebebasan pers. Yakni Pasal 207 KUHP, Pasal 310 (1) dan (2) KUHP, Pasal 11 (1) KUHP, dan Pasal 316 KUHP. Sidang pengujian dimohonkan oleh kalangan pers seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (AJTI) dan Dewan Pers, dan beberapa individu.
Ketentuan pidana membuat wartawan, penceramah dan pembicara dalam diskusi, serta aktivis demokrasi, tidak bisa berekspresi mengemukakan pendirian dan sikapnya. "Takut berekspresi dan takut menyatakan pendapat sangat mengganggu dan menghambat kemajuan bangsa," kata Atmakusumah.
Ketua Umum AJI Indonesia Heru Hendratmoko menyatakan, kebebasan pers dan profesionalisme akan tetap terancam jika pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama baik terus diberlakukan.
"Hanya karena tidak senang dengan sebuah pemberitaan, meski syarat-syarat jurnalistik terpenuhi, setiap individu atau lembaga bisa menyeret wartawan ke pengadilan. Langsung atau tidak langsung, kalau gugatan demi gugatan terus berlangsung, situasi ini akan memengaruhi kebebasan ruang redaksi di dalam merumuskan agenda editorial yang berkaitan dengan isu-isu publik," katanya.
Ujung-ujungnya yang dirugikan adalah kepentingan publik yang lebih luas karena tidak mendapatkan informasi yang jernih, jujur, dan lugas. Nono Anwar Makarim, ahli pemohon lainnya menilai, Pasal 207 dan 208 KUHP sengaja mengenyampingkan maksud dan tujuan pembuat UU membatasi korban penghinaan hanya pada orang-perorangan, dan tidak mencakup badan hukum atau kumpulan atau perserikatan orang-orang.
Pemimpin Redaksi Harian Jawa Pos Rohman Budijanto menyatakan UU Pers tidak ada gunanya kalau pencemaran nama baik secara tertulis diatur di KUHP yang sifatnya lebih umum. "Makanya kita sedang mengupayakan lewat judicial review agar pidana penjara dihapus, sehingga minimal pidana denda, atau diperdatakan saja. Jadi, pidana penjara dihapus, tidak ada lagi pemenjaraan, tetapi denda materil dan imateril seperti dalam gugatan perdata," katanya.(M. Yamin Panca Setia)
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto Dokumentasi Humas MK