JAKARTA (Suara Karya): Komposisi hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dicurigai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi masih memungkinkan untuk diubah menjadi lebih dinamis.
"Masih ada peluang mengubah pasal tentang komposisi hakim Pengadilan Tipikor dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tipikor. Di dalam proses legislasi tersebut bisa dipertegas komposisi terbaik seperti apa yang diharapkan. Nantilah itu dipertegas, kan masih ada pembahasaan lagi,"kata Menkum dan HAM Andi Mattalata menanggapi polemik komposisi hakim karier serta hakim ad hoc Pengadilan Tipikor, Selasa, di Jakarta.
Sejauh ini ketentuan dalam pasal 27 draf RUU Pengadilan Tipikor tidak dengan tegas menyebutkan komposisi hakim. Hanya dinyatakan jumlah maksimal anggota majelis hakim sebanyak 5 orang, dan penentuan komposisinya menjadi wewenang ketua pengadilan negeri atau Ketua Mahkamah Agung (MA).
"Itu diserahkan pada jenis kasusnya, untuk kasus-kasus tertentu yang hakim kariernya lebih menguasai ya dikerahkan lebih banyak hakim karier," kata Andi Mattalatta menambahkan.
Ketua Badan Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Hamid Chalid, sebelumnya mengkhawatirkan pasal-pasal yang diusulkan dalam draf RUU Pengadilan Tipikor versi pemerintah cenderung berpotensi membonsai Pengadilan Tipikor ketimbang memperkuatnya.
Salah satu indikasinya, kata Hamid, terletak pada usulan pemerintah menyerahkan penentuan komposisi majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada ketua pengadilan negeri dan ke Ketua Mahkamah Agung (MA).
Dengan komposisi majelis hakim yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Tipikor, kata Hamid, menjadi potensial terjadi penyalahgunaan. Komposisi hakim ad hoc yang seharusnya lebih banyak dari hakim karier bisa dilakukan menjadi sebaliknya. Bahkan dengan alasan tertentu, bisa saja ketua pengadilan negeri tidak membutuhkan hakim ad hoc.
Peneliti ICW, Febri Diansyah, menambahkan bahwa rezim peradilan umum telah gagal dalam memberikan efek jera melakukan pemberantasan korupsi.
Disebutkan dari Januari-Juli 2008, setidaknya ada 104 terdakwa korupsi bebas dari 196 yang terpantau dalam sidang di peradilam umum. "Artinya 53 persen koruptor divonis bebas di semester I tahun 2008 pada peradilan umum. Selain itu rata-rata vonis hanya 6,43 bulan penjara," jelasnya.
Sementara itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengingatkan, putusan MK mengenai tenggang waktu tiga tahun untuk membuat UU Pengadilan Tipikor.
"Mau lebih banyak hakim karier atau hakim ad hoc yang penting putusan MK soal tenggang waktu itu dapat dipenuhi. Tiga tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengambil langkah-langkah legislasi, sehingga sangat-sangat cukup untuk menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor," katanya.
MK dalam judicial review UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) pada Desember 2006, memberikan waktu tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus dan satu-satunya sistem tindak pidana korupsi. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (23 Juli 2008)
Foto http://www.kabarindonesia.com/gbrberita/20071124123511.JPG