RUU Pilpres mengharuskan visi dan misi capres dibatasi oleh UUD 1945. Artinya visi dan misi calon RI 1 itu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Aturan semacam ini dikritik oleh pengamat. Alasannya, bisa saja ada capres yang menggunakan isu amandemen konstitusi sebagai âjualanâ politiknya.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang lagi panas-panasnya. Meski dianggap luput dari pemberitaan pers ketimbang pembahasan UU Pemilu Legislatif, namun sejumlah kalangan terus menaruh mata terhadap RUU ini. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bahkan sampai merasa perlu berkirim surat ke DPR. Isinya apalagi kalau bukan usulan RUU Pilpres. Surat bernomor 45/DPD/2007 itu salah satunya mengusulkan agar syarat untuk mencalonkan presiden dipermudah.
Wakil Ketua DPD La Ode Ida mengungkapkan wacana yang berkembang dalam draft RUU tersebut menerangkan syarat minimal 30% dukungan dari partai politik (parpol) yang duduk di parlemen. Nah, DPD mengusulkan agar syarat dukungan tersebut cukup 15%. âItu angka moderat. Lebih kecil lebih baik. Membatasi calon bukan jaminan untuk mendapatkan pemimpin yang baik,â ujarnya, Senin (21/7).
Ternyata bukan lembaga negara macam DPD saja yang peduli terhadap RUU Pilpres. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pun ikut memantau. Centre for Electoral Reform (Cetro) bahkan merasa perlu mengundang anggota DPR yang tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) RUU Pilpres untuk berdiskusi atau sekedar hearing. Hadir dalam diskusi itu anggota Pansus RUU Pilpres Patrialis Akbar dan Rully Chairul Azwar.
Patrialis mengungkapkan beberapa hal baru dalam RUU itu yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Pilpres yang lawas (UU No. 23 Tahun 2003). Hal baru tersebut terkait visi dan misi calon Presiden (capres) yang akan dibatasi. âVisi dan misi capres itu harus sesuai dengan UUD 1945,â ujar anggota Komisi III DPR ini di Jakarta, Selasa (22/7).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, usulan tersebut bertujuan untuk membatasi visi dan misi capres agar tak âliarâ. Ia mengungkapkan setelah tak ada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), acapkali terjadi kegamangan. Sedangkan untuk mengadakan GBHN, dirasa tak mungkin untuk kondisi sekarang. Alasannya, kedaulatan bukan lagi di tangan MPR, melainkan di tangan rakyat.
Karenanya, pencantuman batasan visi dan misi itu dianggap relevan untuk menggantikan GBHN. âKita lebih memfokuskan acuan utama dalam kampanye bagi capres adalah UUD 1945, baik pembukaan maupun pasal-pasal,â jelasnya. Selain itu, kata dia, UU yang berhubungan dengan kekuasaan pemerintahan negara juga harus diperhatikan. Terakhir, visi dan misi diserahkan kepada kreativitas si capres itu sendiri, tapi tetap tak boleh bertentangan dengan konstitusi.
Tak perlu dibatasi
Peneliti Cetro Refly Harun mengkritik langkah Pansus ini. Menurutnya visi dan misi capres itu sepatutnya tak dibatasi. âSaya kira itu terlalu berlebihan,â kritiknya. Karena, dalam praktek bisa saja terjadi seorang capres yang mempunyai agenda untuk mengamandemen konstitusi. Misalnya, lanjut Refly, ada capres yang menilai desain konstitusi Indonesia saat ini tidak baik. Lalu, bila si capres tadi menang, maka akan dilakukan perubahan konstitusi. âBila visi dan misi dibatasi konstitusi itu akan menjadi belenggu,â tambahnya.
Artinya, lanjut mantan Staf Ahli Mahkamah Konstitusi (MK) ini, seorang capres akan terhambat lantaran visinya mengusulkan perubahan-perubahan yang ia kehendaki. âPadahal bisa jadi masyarakat juga menganggap konstitusi hari ini bukanlah konstitusi yang ideal,â tuturnya. Karena itu, ujarnya, sebagai bagian dari political marketing, seorang capres merasa tertarik untuk memperjuangkan perubahan konstitusi.
Berdasarkan catatan hukumonline, memang ada beberapa mantan capres pada Pemilu 2004 yang sempat mewacanakan isu yang bertentangan dengan konstitusi. Sebut saja Amien Rais. Mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini pernah mewacanakan negara federal. Isu ini jelas bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tertera dalam konstitusi. Atau Yusril Ihza Mahendra yang sudah memproklamirkan diri sebagai capres 2009. Pria yang lekat di sapa sebagai M. Natsir muda ini sangat lekat terhadap isu penegakan syariat Islam.
Dalam praktek, memang bisa saja terjadi multitafsir apakah sebuah visi dan misi yang diusung capres itu bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Memang perlu ada sebuah lembaga yang bisa memberikan penilaian. âKalau dia mencanangkan ada negara federal, itu sudah tak memungkinkan lagi,â ujarnya. Namun, bila ada capres yang keukeuh untuk menjual isu yang bertentangan dengan konstitusi, maka Patrialis menyerahkan sepenuhnya kepada âwasitâ dalam pemilu. âNanti dinilai oleh Panwas,â tambahnya.
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan sependapat dengan Refly. âTidak usah diatur dalam UU,â ujarnya. Namun, Anies sudah memberi gambaran wasit yang adil bila wacana ini hanya diterapkan dalam sebuah debat publik. Menurutnya, harus ada pihak dari MK yang menilai bahwa paparan seorang capres inkonstitusional atau tidak.(Ali)
Sumber www.hukumonline.com (23 Juli 2008)
Foto http://img210.imageshack.us/img210/6866/istana2mp7.jpg