Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Pasal 23 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KEHAKIMAN), Kamis (17/7) pagi di ruang Sidang Pleno gedung MK, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemohon.
Mengawali persidangan, kuasa hukum Pemohon, Idrus Mony, kembali mengulang penjelasan terhadap perkara yang diajukan ke MK, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 23 Ayat (1) UU KEHAKIMAN, telah dijadikan dasar Pertimbangan Hukum oleh Mahkamah Agung untuk mengabulkan peninjauan kembali perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, âTerhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undangâ. Sementara, menurut Idrus, berdasarkan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, yang berhak melakukan Peninjauan Kembali adalah ahli waris dan terpidana.
Menanggapi hal tersebut, Nur Syamsi Nurlan, anggota Komisi III DPR RI yang mewakili DPR mengatakan, dalil pemohon yang mengatakan UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah keliru. Menurut anggota DPR fraksi Bintang Pelopor Demokrasi ini, justru ketentuan yang terdapat di dalam UU KEHAKIMAN tersebut memberikan perlindungan dan jaminan hukum terhadap warga Negara. âKetentuan yang terdapat di dalam Pasal 23 Ayat (1) merupakan jaminan terhadap tersangka apabila terdapat kekeliruan dan keteledoran Hakim Agung di dalam menangani dan memutus perkara,â jelas Nurlan.
Selain itu, tambah Nurlan, Pemohon dinilai tidak mempunyai legal standing karena ketentuan di dalam UU a quo sama sekali tidak bertentangan dan melanggar hak-hak konstitusionalitas seseorang. Politisi Partai Bulan Bintang ini juga mengatakan apa yang didalilkan oleh Pemohon tidak ada relevansi konstitusionalnya dengan Pasal 23 Ayat (1) UU KEHAKIMAN. Ia justru menganggap yang dipermasalahkan Pemohon adalah penafsiran dan penerapan norma hukum oleh MA.
Sementara ahli yang diajukan Pemohon, Dr. Etty Utju Ruhayati, berpendapat bahwa dalam hukum pidana yang menjadi fokus adalah terpidana sehingga yang berhak mengajukan PK adalah yang dikemukakan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yakni terpidana. Selain itu, menurut Etty, pengaturan mengenai PK yang terdapat dalam KUHAP tersebut telah dijabarkan secara rinci dan limitatif mencakup lingkup bidang hukum pidana yang mana hal tersebut berbeda dengan pengaturan dalam Pasal 23 Ayat (1) UU KEHAKIMAN. âDengan demikian, Pasal 23 Ayat (1) UU KEHAKIMAN bertentangan dengan UUD 1945 karena ketentuan tersebut tidak jelas siapa yang dimaksudkan sebagai pihak-pihak yang bersangkutan,âtandas Etty.
Seraya menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi HAS Natabaya, Etty juga menjelaskan bahwa terkait hukum acara, ketentuan yang berlaku adalah Pasal 263 Ayat (1) KUHAP, bukan Pasal 23 Ayat (1) UU KEHAKIMAN. UU KEHAKIMAN, menurut Etty, hanya mengatur mengenai kekuasaan kehakiman secara umum.
Berbelit-belit
Saat menjawab pertanyaan para hakim konstitusi dan kuasa hukum DPR, ahli Pemohon tidak mampu memberikan penjelasan yang tepat dan cenderung berbelit-belit. Sehingga ketika Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengkonfirmasi apakah jawaban ahli telah memuaskan DPR, Nur Syamsi Nurlan hanya mengatakan, âBiar kami nanti yang menafsirkan sendiri.â
Sebelum menutup persidangan, Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, memberi waktu 14 hari kepada para pihak, baik Pemohon, Pemerintah, dan DPR, untuk memberikan kesimpulan akhir dan bukti-bukti tambahan yang diperlukan. âSelanjutnya nanti kita langsung sidang pengucapan Putusan,â kata Jimly. (Andhini Sayu Fauzia)