Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Senin (14/7) pukul 10.00 wib, di ruang Sidang Panel Lantai 4 Gedung MK, dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara No. 20/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh dr. Salim Alkatiri, warga Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 3 UU KPK yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 3 UU KPK, Pengadilan Negeri Ambon, dengan Nomor Perkara 200/Pid B/2004/PN AB, menjatuhkan pidana terhadap Pemohon selama dua tahun. Keputusan ini diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Tinggi dan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 22 Januari 2007 dengan No. 2349 K/Pid/2006 yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Untuk itu, Pemohon dalam persidangan ini mengatakan, meminta MK menyatakan Pasal 3 UU KPK bertentangan dengan Pasal 12, Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 18 Ayat (2), Ayat (5), dan Ayat (6) UUD 1945.
Sebelumnya, Pemohon menceritakan bahwa pada 1999-2003, di Maluku terjadi kerusuhan. Kemudian Presiden RI memberlakukan Undang-Undang Darurat Sipil No. 23 Tahun 1959. Pada saat itu Pemerintah Daerah Kabupaten Buru menunjuk Pemohon sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan untuk melaksanakan bagaimana mencari obat-obat untuk mengobati para korban kerusuhan di Ambon kala itu. Akhirnya, Pemohon berhutang untuk pengadaan obat-obatan tersebut. âDi mana dengan tindakan saya itu, saya dimasukkan ke penjara berdasarkan Pasal 3 UU KPK,â kisah Salim.
Hal ini, menurut Pemohon, bertentangan dengan Undang-Undang Darurat Sipil yang dikeluarkan Presiden RI pada 27 Juni 2000 dan berlaku sampai pertengahan 2003. Pemohon berasumsi, dengan dikeluarkannya UU Darurat Sipil pada saat itu, maka undang-undang lainnya tak berlaku. Untuk itu, seharusnya, menurut Pemohon, dirinya tidak bisa didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dan merugikan negara, berdasarkan UU KPK. Pemohon bersikeras bahwa UU KPK seharusnya tidak diterapkan di Maluku pada saat itu.
Menanggapi permohonan ini, Anggota Panel Hakim, Mahfud MD, mengingatkan Pemohon bahwa MK ialah pengadilan norma. Suatu undang-undang dapat dibatalkan oleh MK bila bertentangan dengan konstitusi. âSedangkan konkret penerapan suatu undang-undang di suatu daerah, itu soal lain. Bila dianggap bertentangan dengan undang-undang lainnya, pengujiannya sebenarnya bukan di MK,â jelas Mahfud.
Jika Pemohon meminta MK membatalkan Pasal 3 UU KPK, Anggota Panel Hakim, Harjono, menegaskan bahwa suatu undang-undang, diundangkan untuk seluruh Indonesia. âJika undang-undang ini dicabut, maka orang korupsi tidak ada dasar hukumnya lagi. Korupsi tentunya tidak hanya terjadi di Ambon saja,â urai Harjono.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim, Arsyad Sanusi, menyarankan dua hal untuk Pemohon. Pertama, menyarankan Pemohon melakukan perbaikan permohonan. âKedua, kalau ada, silakan Saudara (Pemohon) mencari advokat atau pengacara untuk mendampingi,â kata Arsyad. (Wiwik Budi Wasito)