Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) meminta Pemohon memikirkan ulang niatnya untuk meminta MK membatalkan Pasal 49 Ayat (1) UU Peradilan Agama.
âApabila, misalnya nanti MK mengabulkan permohonan Saudara, berarti kewenangan peradilan agama seluruh Indonesia menjadi hilang. Apa berani Saudara menanggung resiko tersebut?â tanya ketua panel hakim, Moh. Mahfud MD, kepada Pemohon uji UU Peradilan Agama, Selasa (15/7), di ruang Sidang Panel MK.
Hal yang sama juga disampaikan oleh anggota panel, Hakim Konstitusi, M. Arsyad Sanusi. Ia mengatakan seandainya permohonan Pemohon diterima, maka akan terjadi kekosongan hukum. Menurutnya, apabila Pasal 49 UU Peradilan Agama dibatalkan justru peradilan agama akan kehilangan kewenangannya sehingga tidak akan ada yang mengatur urusan perdata umat Islam. âJustru tambah rugi,â ujar Arsyad.
Sebelumnya, Suryani, yang menjadi pemohon perkara tersebut saat membacakan permohonannya menganggap kewenangan peradilan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Ayat (1) UU Peradilan Agama telah membatasi hak konstitusionalnya untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamanya, yakni Islam. Menurut Suryani, pengertian ibadah dalam ajaran Islam sangat luas, termasuk hukum pidana dan perdata. Akibat adanya pembatasan tersebut, tambahnya, ia menjadi tidak bisa beribadah dan bertakwa sesuai dengan ajaran Islam.
âTakwa tidak boleh dipilih-pilih sesuai selera manusia atau pemimpin. Pasal 49 UU Peradilan Agama hanya mengatur perkara perdata tertentu saja. Sedangkan Islam menghendaki penerapan ajarannya secara menyeluruh (kaffah),â urai Suryani.
Bunyi Pasal 49 UU Peradilan Agama tersebut adalah sebagai berikut.
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syariah.
Melalui permohoan tersebut, ia juga menuntut agar Pemerintah memberi kesempatan kepada dirinya dan umat Islam secara keseluruhan untuk dapat bertakwa secara benar.
Selain itu, karena kewenangan peradilan agama telah ditentukan oleh UU a quo, Pemohon menganggap peradilan agama hanya menjadi peradilan pelengkap saja tanpa kewenangan yang luas. âDi desa-desa bahkan masyarakat tidak peduli apabila menikah tanpa melalui pengadilan agama,â ujarnya menyontohkan.
Atas pernyataan tersebut, anggota panel Hakim Konstitusi, M. Alim, menegaskan bahwa keberadaan peradilan agama diatur secara sejajar dengan peradilan umum. Bahkan, lanjutnya, peradilan agama sudah ada sejak tahun 1882 dan hingga kini kewenangannya terus bertambah. Ia juga menjelaskan bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak hanya mengakomodasi hukum Islam yang bersifat perdata melainkan juga hukum pidana.
âHukum Islam yang bersifat perdata diatur dalam peradilan agama sementara yang bersifat jinayat diatur dalam peradilan umum (pidana),â kata Hakim Konstitusi yang juga doktor bidang hukum Islam ini.
Majelis Hakim Konstitusi juga meminta Pemohon untuk menghilangkan permintaan agar MK menerima usul/saran Pemohon sebagaimana yang tercantum dalam petitum permohonan. âMK tidak punya wewenang menerima atau menolak saran. Jadi, sebaiknya dihilangkan (dari petitum). Dalam permohonan perkara, tidak ada saran atau advise atau doa restu,â kata ketua panel Mahfud MD.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk mempertimbangkan permohonannya apakah akan melanjutkan perkara dengan memperbaiki permohonan dan menerima nasihat para hakim atau menarik permohonan. (Ardli Nuryadi)