Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua pengujian UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Senin (14/7) pukul 10.00 WIB, di ruang Sidang Panel Lantai 4 Gedung MK, dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan.
Pengujian UU a quo dimohonkan oleh 137 orang mantan buruh PT. Sindoll Pratama, beserta pengurus Dewan Pimpinan Pusat Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (DPP F.ISBI) M. Komarudin dan Muhammad Hafidz.
âMelalui sidang pengujian UU ini kami ingin memperjuangkan hak buruh atas upah dan pesangon yang seringkali sulit didapatkan karena keberadaaan kreditur separatis (kreditur yang memiliki hak jaminan hutang kebendaan red.), sebagai pihak yang menjadi prioritas dalam pembagian harta ketika terjadi pailit,â ucap Muhammad Hafidz mengenai permohonannya.
Ada beberapa pasal UU a quo yang menjadi pokok permasalahan dari perkara ini, yakni Pasal 29 yang menghapuskan kemungkinan penyelesaian perselisihan melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit. Pasal 55 Ayat (1) yang tidak memberikan hak kepada kaum buruh dan hanya memberikan hak kepada Kreditor Separatis untuk mengeksekusi haknya seolah tidak terjadi kepailitan. Pasal 59 Ayat (1) yang hanya mengharuskan Kreditor pemegang hak,tanpa kaum buruh, melaksanakan haknya dalam jangka waktu paling lambat 2 bulan setelah keadaan insolvensi dan Pasal 138 yang hanya memungkinkan Kreditor pemegang hak, dan tidak memungkinkan kaum buruh, untuk meminta diberikan hak-haknya atas bagian piutang tersebut.
Hafidz bercerita tentang kerugian konstitusionalnya bahwa buruh PT. Sindoll Pratama telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan hak atas upah dan pesangon. Namun seiring dengan putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan perusahaan tersebut pailit dan karena adanya ketentuan Pasal 29 UU Kepailitan, gugatan tersebut tidak dikabulkan.
Dalam pelaksanaan pembagian harta pailit di Pengadilan Niaga, hak buruh PT Sindoll Pratama atas upah dan pesangon telah dibayarkan dan mendapatkan prioritas yang sama dengan hak para Kreditur Separatis. âNamun ini dilakukan karena tekanan kami terhadap perusahaan, bukan berdasarkan ketentuan perundangan,â tegasnya.
Sebelum mengakhiri persidangan, Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyarankan para buruh untuk mendatangkan ahli perburuhan dan ahli ekonomi. âKarena di negara manapun di dunia ini, kaum buruh belum pernah diposisikan sama dengan kreditur separatis. Nah, kita perlu melihat bagaimana pendapat ahli perburuhan ataupun ahli ekonomi mengenai kedudukan buruh pada sistem ekonomi kapitalis dan non-kapitalis,â terang Maruarar sebelum menutup persidangan. (Kencana Suluh Hikmah)