Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) di Indonesia terjadi secara besar-besaran dan mendasar. Selain bertambahnya pasal-pasal, perubahan itu juga menyangkut sifat UUD itu sendiri. Sebelum amandemen, konstitusi Indonesia bersifat vertikal-hierarkis yang ditandai dengan adanya lembaga tertinggi negara, yaitu MPR. Akan tetapi, setelah perubahan, konstitusi Indonesia bersifat horizontal-fungsional. Tidak ada lagi lembaga dengan kekuasaan tertinggi.
Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di hadapan mahasiswa Universitas Pamulang, Banten, yang mengadakan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (14/7).
Dengan adanya prinsip supremasi MPR seperti di atas, lanjut Palguna, sistem yang dianut merupakan pembagian kekuasaan (division of powers) dan bukan pemisahan kekuasaan (separation of powers). âNamun kini, semua lembaga negara berada di posisi sederajat dengan sistem pemisahan kekuasaan dan menganut prinsip saling mengawasi serta mengimbangi atau checks and balances system,â papar Palguna.
Perubahan sistem dalam UUD, menurut Palguna, telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa UUD itu disusun dengan berkedaulatan rakyat. Inilah yang disebut constitutional democracy yang menjadi ide dasar yang menjiwai seluruh perubahan konstitusi. âIde dasar tersebut juga dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD,â lanjut Palguna.
Dari berbagai macam model konstitusi di seluruh dunia, Palguna menjelaskan bahwa konstitusi Indonesia menganut model yang menggunakan Pembukaan yang bersifat konstitutif, bukan hanya deklaratif. âItulah sebabnya mengapa dalam Pasal 37 Ayat (1) ada penekanan pada pasal-pasal. Pasal 37 itu mengatur masalah perubahan pasal-pasal, artinya Pembukaan tidak boleh diubah,â imbuhnya.
Tidak hanya di Indonesia, dewasa ini banyak negara yang sudah mulai meninggalkan sistem supremasi parlemen. Ide pembentukan MK yang disampaikan oleh Hans Kelsen , urai Palguna, sesungguhnya juga merupakan kritik terhadap supremasi parlemen. Tidak ada jaminan bahwa Parlemen akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga perlu adanya satu mekanisme untuk mengontrol produk yang dihasilkan melalui judicial review atau pengujian undang-undang terhadap UUD. âJadi, intinya mengapa undang-undang itu boleh diuji, karena untuk menegakkan prinsip constitutionality of law,â tegas Palguna.
Prinsip constitutionality of law, ungkap Palguna, juga mendasari pembentukan MK di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa MK dibentuk berdasarkan mandat dari semangat Pembukaan UUD 1945. (Yogi Djatnika)