Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) harus dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Hal tersebut dinyatakan mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang Kamis, (10/07), di Ruang Sidang MK.
"Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 dimaksud adalah konstitusional sepanjang tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis) dan kejahatan politik dalam pengertian perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa," ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, membacakan Konklusi Putusan perkara 15/PUU-VI/2008.
Pemohon pengujian UU 10/2008 tersebut adalah Julius Daniel Elias Kaat yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 50 ayat (1) huruf g yang berbunyi,"âBakal calon anggota DPR, DPRD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.â Julius pernah melakukan tindak pidana penganiayaan berat, sehingga terhalang baginya untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
MK walaupun menolak permohonan, tetapi menyatakan ada konstitusional bersyarat dalam norma tersebut. hal ini terkait dengan putusan MK sebelumnya (Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007) yang substansinya sama.
Menurut MK, dalil-dalil Julius secara substansial tidak berbeda dengan dalil-dalil para Pemohon dalam Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007. Tidak terdapat argumentasi yang secara substansial baru dalam dalil-dalil yang diajukan Pemohon karena pada dasarnya Pemohon hanya mengulangi keterangan para ahli yang diajukan oleh para Pemohon dalam Permohonan Nomor 14-17/PUU-V/2007 yang sudah dipertimbangkan oleh Mahkamah. Dengan demikian, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 dimaksud mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan Julius.
Keadilan, bagi MK, bukanlah selalu berarti memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Sehingga, justru menjadi tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakukan sama. Dalam kasus konkret pada diri Pemohon, yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan penganiayaan berat, jelas berbeda dengan seseorang yang karena kealpaan ringan dijatuhi pidana maupun seseorang yang dipidana hanya karena mengekspresikan sikap atau pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang berkuasa (politieke overtuiging).
Sebab, dalam kedua contoh yang disebut terakhir sesungguhnya tidak terdapat elemen niat jahat (mens rea) pada diri pelakunya. Keadaan demikian jelas sangat berbeda dengan perbuatan penganiayaan, lebih-lebih penganiayaan berat. Penganiayaan berat jelas mengandung unsur mens rea atau unsur niat jahat. Di samping itu, dari segi kualifikasi tindak pidana, penganiayaan berat juga digolongkan sebagai mala in se, yaitu perbuatan yang karena hakikatnya sudah merupakan perbuatan yang dilarang, bukan semata-mata karena undang-undang atau mala prohibita. "Dengan demikian, Pemohon sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan berat jelas berbeda dari pelaku kealpaan ringan dan pelaku tindak pidana politik yang hanya karena perbedaan pandangan politik dengan rezim yang berkuasa," ucap Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, membacakan Pertimbangan Hukum Putusan.
MK juga menegaskan dikecualikannya seseorang yang pernah melakukan kealpaan ringan (culpa levis) dan mereka yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana politik dalam pengertian politieke overtuiging sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik bukanlah dikarenakan pertimbangan ancaman pidananya, yaitu di bawah lima tahun, melainkan karena tidak terdapatnya sifat jahat atau moralitas kriminal dalam kedua perbuatan dimaksud.
Menurut MK pula, pertimbangan Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007,tidak mendasarkan diri pada persoalan berat-ringannya ancaman atau lamanya pidana dijatuhkan. Lagi pula, berat-ringannya ancaman pidana merupakan hal yang lazim digunakan sebagai faktor pembeda, baik dalam pertimbangan penjatuhan pidana (strafmaat) maupun dalam prosedur penahanan (gronden van rechtmatigheid en gronden van noodzakelijkheid).
"Terhadap permohonan yang substansinya sama dengan permohonan a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007," ucap Ketua MK. Sehingga permohonan Pemohon ditolak. (Luthfi Widagdo Eddyono)