Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kedua pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh Gubernur Lampung, Drs. H. Sjachroedin ZP, S.H, Selasa (8/7), dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, serta dua orang Ahli dari Pemohon.
Dalam Perkara No. 17/PUU-VI/2008 ini Pemohon beralasan pemberlakuan Pasal 58 huruf q dan penjelasan dari UU a quo, serta Pasal 233 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 telah menyebabkan kerugian konstitusional pada dirinya.
âDengan mengatur bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya (incumbent) harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, Pemohon memandang Pasal 58 huruf q dan penjelasan UU a quo diskriminatif,â jelas Kuasa Hukum Pemohon, Susi Tur Andayani, pada persidangan sebelumnya, (4/6).
Ada beberapa alasan yang melatari Pemohon memandang Pasal a quo diskriminatif. Pertama, UU ini memberikan aturan yang berbeda terhadap pejabat publik lainnya yang bukan incumbent. Kedua, UU ini hanya berlaku bagi jabatan kepala daerah dan wakilnya. Tidak semua pejabat publik yang ikut dalam calon pemilihan diperlakukan sama dengan Pasal 58 huruf q dan penjelasan UU a quo. âDengan demikian pemberlakuan Pasal beserta penjelasannya tersebut bertentangan dengan asas persamaan yang tergabung dalam asas pemerintahan yang layak, yang mengharuskan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara,â tambah Susi kala itu.
Alasan selanjutnya, masa jabatan Pemohon sebagai Gubernur Lampung berakhir 2 Juni 2009 sedangkan Pemohon mendaftarkan diri untuk ikut calon Pilkada tanggal 28 Mei 2008. Dengan demikian, Pemohon beralasan pemberlakuan Pasal 58 huruf q dan Penjelasan Pasal 58 huruf q UU a quo sepanjang anak kalimat âyang tidak dapat ditarik kembaliâ sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, karena jika Pemohon ikut dalam pencalonan Pilkada maka hak Pemohon menjabat sebagai Gubernur akan hilang seandainya dalam Pilkada Pemohon tidak lagi terpilih.
Mengenai Pasal 233 UU a quo, Pasal tersebut dinilai telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan (5) UUD 1945. Pemberlakuan pasal tersebut telah merampas hak Pemohon selama lebih dari satu tahun untuk menyelesaikan jabatan sebagai Gubernur Lampung. Masa jabatan Pemohon sesungguhnya baru akan berakhir 2 Juni 2009. Namun karena pada 28 Mei 2008 Pemohon mendaftarkan diri untuk ikut Pilkada, Pemohon harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Dengan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK melalui amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 58 huruf q UU Nomor 12 Tahun 2008 beserta penjelasannya, dan Pasal 233 Ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara itu, pada persidangan ini, Pemerintah yang diwakili Dirjen PP Dephukham, Abdul Wahid Masru dan DPR yang diwakili oleh Kuasa Hukumnya, Lukman Hakim Syaefudin, pada tanggapan pertama sama-sama menyatakan bahwa pengunduran diri sebagai syarat incumbent itu dimaksudkan agar pelaksanaan pilkada dapat berlangsung fair dan menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang mungkin dilakukan kepala daerah pemegang jabatan.
Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H., selaku ahli pertama yang dihadirkan oleh Pemohon, menyatakan bahwasannya telah terjadi diskriminasi terhadap calon kepala daerah Lampung dengan adanya Pasal 233 Ayat (2) dan penjelasan Pasal 58 huruf q, âpenjelasan Pasal 58 huruf q dengan anak kalimat âyang tidak dapat ditarik kembaliâ itu menunjukkan adanya norma baru yang berbeda dengan keputusan pasalnya. Dengan demikian pengunduran diri incumbent yang tidak dapat ditarik kembali akan merugikan incumbent dengan pertimbangan masa jabatan yang masih satu tahun ke depan,â ujarnya.
Adapun Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku ahli kedua yang diajukan, menyoroti keberadaan Pasal 233 Ayat (2) dan penjelasan Pasal 58 huruf q yang telah mengganggu asas kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Di jagat hukum Indonesia ini, ungkap Yuswanto, hanya dikenal incumbent kepala daerah/wakil kepala daerah yang harus mundur jika mencalonkan diri dalam pilkada. âSedang kita tidak pernah mendengar adanya incumbent Presiden/Wakil Presiden yang harus mundur jika mencalonkan diri dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,â ujarnya.
Selain itu, Yuswanto juga menyatakan ketentuan dari Pasal 58 huruf q tidak fair karena tidak diberlakukan kepada anggota Dewan (DPR, DPD, DPRD) yang hendak mengajukan dirinya sebagai calon kepala daerah.
Terhadap pernyataan kedua ahli, Hakim Konstitusi, Mahfud MD, juga mempertanyakan hal senada, mengapa ada ketentuan tidak dapat ditarik kembali padahal masa jabatannya masih lama. âLalu di Depdagri sendiri bukannya baru-baru ini ada kasus serupa, ada pejabat sudah mundur tapi masih bisa kembali lagi?â tanyanya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Lukman Hakim menyatakan bahwasanya pemberlakuan penjelasan Pasal 58 huruf q dengan frase âtidak dapat ditarik kembaliâ dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat keseriusan dari calon itu sendiri dan untuk kepastian hukum. âKalau bisa ditarik kembali justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dari surat pengunduran diri itu sendiri,â papar Anggota Komisi III DPR RI ini.
Selain itu, lanjut Lukman, pemberlakuan klausula mundur diberlakukan untuk incumbent kepala daerah karena resiko dari penyalahgunaan wewenang dirasa amat besar dimiliki kepala daerah. Terdapat birokrasi dan hierarkhi antara atasan dan bawahan, di mana kepala daerah bisa saja menggunakan wewenangnya untuk membuatnya terpilih kembali. (Adiar Adrianto)