Gerakan antikorupsi belakangan ini sedang marak dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa korupsi telah menjadi masalah bersama. Meskipun telah ada upaya untuk membentuk suatu lembaga anti korupsi seperti KPK, praktek-praktek kecurangan tetap saja terjadi.
Demikian ungkap Jimly ketika menjadi pembicara kunci dalam acara peluncuran buku âNegeri para Mafiosoâ dan âNegara Antara Ada dan Tiadaâ karya Denny Indrayana, Selasa (2/7), di Jakarta.
Lanjut Jimly, dapat dikatakan bahwa tidak ada negara seperti Indonesia di mana budaya korupsi telah menjangkiti lembaga tinggi baik di ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. âSemua orang telah paham betapa parahnya masalah korupsi ini, akan tetapi kenyataannya, masalah ini justru jauh lebih parah dari apa yang orang sangka,â kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Jimly juga mengatakan bahwa setelah sepuluh tahun reformasi berlangsung di Indonesia, masih terjadi kasus seperti Jaksa Urip Tri Gunawan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). âSecara diam-diam dia mengira tidak ada satu orang pun yang tahu, rupanya ketahuan,â jelas Jimly.
Untuk itu, Jimly menghimbau semua elemen masyarakat untuk melakukan introspeksi. âJangan-jangan kita terlalu banyak berteriak. Mungkin karena semua orang berteriak, semua orang marah, maka imunlah semua telinga,â katanya bernada khawatir.
Jimly berpendapat, mungkin Indonesia membutuhkan seorang Hotman, ahli hukum di Belanda, yang dalam satu tulisannya menggambarkan bahwa kalau ingin menegakkan hukum maka harus menghindar dari sikap antusiasme yang berlebihan untuk menghindari backlash (kemunduran). âUntuk menghindari keadaan tersebut, yang kita butuhkan saat ini bukan lagi bicara, akan tetapi kerja nyata,â tegas Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Pada kesempatan yang sama, Jimly juga menilai apa yang dilakukan oleh KPK sudah berada di jalur yang benar. Menurut Jimly, dukungan pada kinerja KPK tetap perlu diberikan tanpa perlu banyak diperbincangkan atau diperdebatkan. Sebagai langkah nyata, Jimly mengajak semua lapisan masyarakat untuk bekerja secara lurus dan mengurangi bicara. Terlebih lagi jika orang tersebut memiliki jabatan, terlepas dari jabatan apa yang disandangnya, Jimly meminta mereka untuk menjaga amanat yang diberikan.
âJangan pernah menerima, meminta, ataupun mengambil yang bukan hak kita. Sebelum menerima, meminta, ataupun mengambil, harus dipastikan bahwa hal itu betul-betul hak kita. Kalau bukan hak kita atau tidak yakin, apapun alasannya maka jangan kita ambil!â tegasnya mengingatkan.
Peringatan serupa juga diberikan oleh Jimly terhadap pelaksanaan kewajiban. âKalau kita sebagai Pejabat Negara, kewajiban bekerja kita 100 (persen) tapi kita hanya melakukan 75, meskipun kita tidak pernah menerima yang diluar hak kita, itu termasuk korupsi juga,â tukas Jimly.
Namun, hal-hal di atas, oleh Jimly, dianggap tidak cukup untuk mengentaskan korupsi. Selain menjadi orang baik, perlu juga memperbaiki sistem kehidupan bernegara. Sistem kehidupan bernegara yang dimaksud mencakup penataan sistem aturan atau norma yang berlaku dan sistem kelembagaan negara serta lembaga civil society yang kini sedang semrawut. Kondisi ini, menurut Jimly, juga turut andil dalam tumbuh suburnya korupsi.
Untuk itu, Jimly menyarankan perlunya menata ulang sistem hukum dan sistem etika yang berubah akibat perubahan besar pada konstitusi, yaitu UUD 1945. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, papar Jimly, telah terjadi masa transisi di mana norma lama telah ditinggalkan, sementara norma baru belum terbentuk dengan efektif sehingga tercipta suatu kondisi anomos (ketiadaan hukum). âSelain menata norma hukum, kita juga harus mengembangkan norma etika, rule of ethics, sehingga beban hukum tidak terlalu berat untuk mengatasi keadaan yang berkembang di masyarakat,â pungkas Jimly.
Selain penyampaian materi oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, acara peluncuran buku ini juga diisi dengan acara bedah buku yang dihadiri oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedhan, Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah, dan Pakar Komunikasi Politik UI Effendi Gazali, yang bertindak sebagai moderator. (Yogi Djatnika)