Indonesia adalah negara hukum sesuai dengan UUD 1945. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Demikian opening statement yang disampaikan oleh Dirjen PP Dephukham, Abdul Wahid, saat memberikan keterangan tidak resmi mewakili Pemerintah dalam Sidang pleno pertama perkara No.16/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian Pasal 23 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK), Selasa (1/7).
Pengujian UU KK tersebut diajukan oleh Pollycarpus Budihari Priyanto terpidana kasus kematian aktivis HAM, Munir. Pemohon, melalui kuasa hukumnya Idrus Mony., S.H. dan Muhammad Tohir., S.H., mendalilkan bahwa UU a quo sangat merugikan hak konstitusional Pemohon. Kerugian tersebut khususnya terhadap penafsiran atas norma âpihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agungâ. Pemohon menganggap norma tersebut secara terang-terangan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Akibatnya, siapa saja termasuk kejaksaan dapat menafsirkan sebagai âpihak-pihak yang bersangkutanâ.
âTerkait dengan kata âpihak-pihak yang bersangkutanâ, di situ pihak-pihak siapa yang dimaksud?â tanya Tohir. Dampak dari ketentuan tersebut, Tohir mengisahkan, pada saat sidang kasasi kliennya sudah memperoleh kebebasan, tetapi ketika diajukan peninjauan kembali oleh jaksa penuntu hukum, kliennya kembali masuk ke dalam tahanan penjara.
Menanggapi permohonan Pemohon, Abdul Wahid berpendapat bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah tidak tepat. Pemerintah menganggap apa yang dialami oleh Pemohon berkaitan dengan penerapan suatu norma hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, dalam hal ini Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan PK perkara Pemohon yang menjadi tersangka pembunuhan, MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh kejaksaan dengan salah satunya mendasarkan pada ketentuan Pasal 23 Ayat (1) UU KK yang dimohonkan Pemohon untuk diuji oleh MK. Oleh karenanya, pemerintah berpendapat bahwa penuntut umum ataupun jaksa berhak untuk melakukan PK terhadap perkara tersebut. âSelain itu, Pasal 23 Ayat (1) UU KK sama sekali tidak terkait dengan konstitusionalitas Pemohon, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD1945,â ucap Abdul Wahid.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mempertanyakan konsistensi pokok persoalan dari permohonan Pemohon yang mempermasalahkan norma yang ada dalam UU KK atau kinerja lembaga peninjauan kembali dalam hal ini jaksa penuntut umum. âSebab ini akan menjadi pegangan untuk sidang-sidang berikutnya,â tegas Palguna.
Senada dengan Palguna, Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya juga mempertanyakan apakah pemohon tersebut korban dari Pasal 263 Ayat (1) UU KUHP atau Pasal 23 Ayat (1) UU KK yang merupakan eksistensi dari lembaga peninjauan kembali.
Menjawab pertanyaan tersebut, kuasa hukum Pemohon menegaskan bahwa dengan berlakunya Pasal 23 Ayat (1) UU KK yang mengatur mengenai keberadaan lembaga Peninjauan Kembali, telah merugikan hak konstitusional Pemohon.
Pada sidang tersebut, sedianya juga akan didengarkan keterangan dari ahli yang diajukan oleh Pemohon. Akan tetapi, karena ahli dari Pemohon tidak hadir maka keterangan tersebut akan didengarkan pada sidang berikutnya sekaligus keterangan resmi dari pemerintah.
âKarena ini sidang serius jadi diharapkan dari masing-masing pihak juga menanggapi masalah ini dengan serius. Jadi, diharapkan untuk sidang selanjutnya ahli dari Pemohon dan Pemerintah dapat hadir,â ucap Jimly mengingatkan. (Andhini Sayu Fauzia)