Secara historis, DKI Jakarta sesungguhnya merupakan sebuah kota. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemerintah pada sidang ke empat pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU No.29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU DKI), di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/06).
Pengujian UU a quo dimohonkan oleh Biem Benjamin yang mempertanyakan mengapa otonomi di DKI Jakarta bersifat tunggal, yakni pada wilayah provinsi, dan mengapa di Jakarta ini walikota dan bupati tidak dipilih melalui Pilkada.
"Pemberian status Provinsi pada DKI secara administratif berbeda dengan yang terjadi pada provinsi-provinsi lain. Pada kasus DKI, pemberian status provinsi ini dilakukan agar kepala daerah Jakarta, waktu itu walikota dapat berperan sama seperti gubernur-gubernur di provinsi lain," terang Ryaas.
Karena itulah Ryaas menilai dari segi politik desentralisasi, realitas administrasi, dan keperluan menyeragamkan pelayanan publik, tidak ada keperluan untuk membangun sifat otonom pada tingkatan daerah di bawah Provinsi.
Hal serupa juga disampaikan oleh Prof. Dr. Ryas Zudan Arif Fakrulloh. Menurut Zudan, konstruksi otonomi Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18 B UUD 1945 lebih diarahkan kepada pemenuhan kepentingan masyarakat. âPemberlakuan otonomi hanya pada tingkat Provinsi justru mendukung efektivitas dalam melaksanakan pelayanan publik,â terangnya.
Sementara itu, Ahli dari pihak Pemohon, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein berbeda pendapat. Bhenyamin menilai kondisi demografis DKI Jakarta yang jumlah penduduknya sangat besar (7,7 juta jiwa) dan standar pendidikan penduduknya relatif tinggi, membutuhkan praktek demokrasi yang lebih kompleks dari daerah lain. âPemberlakuan otonomi pada tingkatan daerah di bawah provinsi adalah salah satu wujudnya,â tegas guru besar Universitas Indonesia ini. (Kencana Suluh Hikmah)