Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang judicial review pasal penghinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). MK diminta untuk menghapus pasal-pasal karet yang bisa menjerat pekerja pers tersebut.
Sidang Pleno Hakim ketiga ini dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan 7 anggota lainnya di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jl. Medan Merdeka barat, Jakarta, Selasa 924/06/08)
Dalam sidang yang mengagendakan penjelasan pemerintah yakni Tim Revisi RUU KUHP, hadir anggota Dewan pers Bambang Harimurty dan tarman Azzam sebagai pihak terkait. Saksi ahli Ketua Umum Aji heru Hendratmoko, saksi ahli Ketua Umum AJI Heru Hendratmo, saksi Khoe Seng Seng dan tim Kuasa hukum pemohonan dari LBH Pers
Sebelumnya, sidang ini menguji pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Keduanya menganggap sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 207, Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 311 ayat 1 telah membatasi hak untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945.
Dalam sidang tersebut anggota Dewan Pers Leo batubara merasa keberatan dengan revisi UU KUHP yang dilakukan pemerintah. Dia mempertanyakan kenapa KUHP yang saat ini berjumlah 63 pasal dan yang sebagian besar dianggap memberatkan masyarakat.
"Pasal penghinaan ini untuk membelenggu dan pengamanan penguasa penjajahan. Sebenarnya sudah diubah menjadi masalah perdata dengan 36 pasal. Tapi sekarang ada 63 pasal yang justru memenjarakan wartawan. Pemenjaraan wartawan atau rakyat yang berekspresi justru membelenggu demokrasi," jelas leo dalam catatannya kepada majelis hakim konstitusi.
Menurut Leo, sejak zaman kolonialis Belanda, banyak tokoh pers yang dipenjarakan karena dituduh melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai pasal 207 dan pasal 310 KUHP. Begitu juga era reformasi ini, banyak wartawan yang dipenjarakan akibat menyampaikan informasi kepada publik.
"Sepertinya pemerintah masih mencintai produk UU buatan belanda, seperti juga dicintai Tim Revisi RUU KUHP. Pasal-pasal itu bisa melumpuhkan ekspresi menyampaikan pendapat, demokrasi, kontrol pers dan kebebasan pers. Jelas ini melanggar konstitusi rakyat, UUD 1945." jelasnya.
Sementara itu, saksi ahli Ketua Umum AJI heru hendratmoko berharap pasal-pasal yang memberatkan dunia pers dikurangi. Alasannya ini bisa mengancam kebebasan di alam demokrasi.
Heru menyatakan, pasal-pasal ini merupakan bentukan kriminalisasi terhadap pers. Padahal sebelumnya, kebebasan pers di Indonesia paling bagus dibanding negara-negara di Asia lainnya.
"saya pernah nikmati kebebasan pers, tapi 10 tahun reformasi kembali merosot, terjun bebas ke posisi ranking jelek dari 150 negara lainnya," imbuhnya.
Salah satu penyebabnya, yaitu diberlakukan kembali pasal-pasal karet yang menjadi ancaman bagi pers. "Ini subyektif dan sewaktu-waktu bisa dijerat hukum dan diadili, seperti kriminal. Ini yang disebut kriminalisasi pers. Pasal seperti ini telah memenjarakan aktivitas dan wartawan di masa Orde baru dan sekarang," tandasnya.
Sementara itu, anggota Tim Revisi RUU KUHP Muzakir membantah pasal penghinaan dan pencemaran nama baik sebagai bentuk kriminalisasi pers. "Soal kriminalisasi pers itu tidak tepat. Yang ada itu depenalisasi, yaitu tidak perlu ada pidana pemenjaraan. Ini dihilangkan. Dalam pasal itu yang tidak dihilangkan soal materiil obyek hukumnya," ujarnya.
Tim juga sudah membahas tentang agar pasal-pasal tersebut ditransfer menjadi persoalan perdata tidak lagi pidana. Namun kenyataan yang ada, masyarakat masih memiliki hukum adat, karena bisa dianggap fitnah, terutama dalam konteks masyarakat Muslim. Belum lagi apa yang dikenal sebagai hukum siri (malu) dimana di beberapa daerah bisa ada pembunuhan.
Muzakir menegaskan, dalam RUU KUHP tidak ada satu pun pasal yang semangatnya untuk membunuh atau memenjarakan salah satu profesi tertentu. "Bila menyinggung salah satu profesi, lebih baik melawan hukum dalam konteks hukum seperti kode etik dan standar profesi. ini yang harus dipublikasi ke masyarakat, agar masyarakat tahu. Bila seseorang bekerja sesuai dengan standar jurnalistik dan pers, pasti tidak akan melawan hukum," ujarnya. (zal/aba)
Sumber www.detik.com (24 Juni 2008)
Foto Dok Humas MK