Putusan ini kembali memperpanjang âkekalahanâ masyarakat hukum adat di persidangan. MK menilai masyarakat hukum adat Banggai Kepulauan tak punya legal standing. Sehari sebelumnya, MK berpendapat serupa terhadap masyarakat hukum adat Kota Tual.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) mendadak ricuh. Seorang wanita paruh baya berteriak dengan keras memprotes putusan yang baru saja diketok oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie. âSaya tak terima putusan ini,â ucap wanita itu penuh emosi. Wanita itu tak sendirian. Di luar gedung MK, pun serupa. Sejumlah laki-laki juga meluapkan emosinya dengan berteriak. Mereka pun menjadi pusat perhatian petugas keamanan gedung MK.
MK memang baru saja memutus permohonan pengujian UU No. 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Amar Putusan berbunyi âMenyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterimaâ. Hal inilah yang menyebabkan kericuhan tersebut. Mereka yang protes merupakan masyarakat Banggai Kepulauan (Bangkep) yang berada di Jakarta.
Jimly menjelaskan tidak dapat diterimanya permohonan ini karena ada kelemahan dari legal standing atau kedudukan hukum pemohon. Dalam permohonan, memang ada dua pemohon, yaitu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diwakili oleh Moch. Chair Amir dan Alwi Liwang sebagai perorangan warga negara Indonesia.
âBahwa para pemohon tidak dapat membuktikan baik kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat dalam permohonan a quo maupun kerugian hak konstitusionalnya sebagai akibat berlakunya UU 51/1999,â ucap Jimly saat membaca konklusi putusan di ruang sidang MK, (19/6). Uniknya, konklusi ini sama persis dengan putusan MK sehari sebelumnya terhadap pengujian UU Pembentukan Kota Tual yang diajukan oleh masyarakat hukum adat Kota Tual.
MK kembali mendalilkan bahwa pada persidangan sebelumnya ada pihak terkait yang juga mengaku lebih berhak mewakili masyarakat hukum adat Banggai Kepulauan. âSanggahan atau penolakan pihak terkait tersebut tidak dibantah oleh Pemohon I,â ujar Hakim Konstitusi Soedarsono. Sehingga, lanjutnya, masih belum cukup bukti yang sah dan meyakinkan bahwa Pemohon I yang mendalilkan diri mewakili kesatuan masyarakat hukum adat Banggai memenuhi syarat kedudukan hukum.
Sekedar mengingatkan, pemohon mempersoalkan Pasal 11 UU No. 51 Tahun 1999. Pemohon menilai ada dualisme ibukota Banggai dengan berlakunya pasal tersebut. Pasal 10 ayat (3) menyatakan âIbukota Kabupaten Banggai Kepulauan berkedudukan di Banggaiâ. Namun, Ketentuan Pasal 11 seakan membatalkannya. âSelambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak peresmian Kabupaten Banggai Kepulauan, kedudukan ibukota dipindahkan ke Salakan,â demikian isi Pasal 11.
Meski memutus Niet ontvankelijk verklaard, MK masih sempat menyinggung sedikit mengenai substansi perkara. Soedarsono mengatakan adanya dualisme ibukota antara Banggai dan Salakan bukanlah tindakan yang inkonstitusional meski penentuan ibukota tersebut menimbulkan kontroversi tersendiri.
âBahwa pemindahan suatu ibukota atau pusat pemerintahan adalah hal yang biasa dalam kehidupan kenegaraan, termasuk di berbagai negara, bahkan ibukota negara sekalipun,â tegas Soedarsono. Bahkan, lanjutnya, bila pembentuk UU ingin mengembalikan lagi ibukota dari Salakan ke Banggai atau mengalihkannya ke daerah lain itu merupakan hal yang lumrah. Asal melalui prosedur atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Soedarsono juga menegaskan tak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon terkait perpindahan ibukota ini. Ia mengatakan tak ada hubungannya antara perpindahan ibukota dengan tidak diakui serta dihormatinya masyarakat hukum adat sehingga budaya masyarakat terpinggirkan sebagai didalilkan pemohon. Salah satu pihak terkait yang hadir dalam persidangan sebelumnya, Perangkat Adat Hukum Tua dari Banggai, Subasan juga mengutarakan hal yang sama dengan pertimbangan MK ini.
Lagipula, lanjut Soedarsono, konflik yang terjadi akibat pemindahan ibukota ini sudah dapat diselesaikan secara bertahap, sehingga Banggai Kepulauan sudah mulai kondusif. Namun, pertimbangan MK ini justru mendapat tantangan dari para pemohon. Para pemohon yang masih emosi di luar gedung MK mengabarkan bahwa di Banggai saat ini sedang berlangsung kerusuhan. Gosip itu pun sudah beredar di luar Gedung MK melalui telepon.
Namun, komentar aktivis Forum Peduli Banggai Kepulauan di Jakarta Ridaya Laodengkowe yang hadir bersama pemohon patut disimak. Pria yang juga aktif di Indonesia Corruption Watch (ICW) ini tak henti-hentinya menerima telepon ketika ditemui hukumonline. âTorang (kita orang,-red) kalah,â tuturnya lirih kepada seseorang dibalik telepon. Tapi Ridaya tak lupa memberi pesan diakhir teleponnya. âSabar. Tak usah mengamuk,â ujarnya dengan logat Banggai yang kental.
Ridaya memang belum mengetahui akan mengambil langkah apa pasca putusan ini. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, sempat menganjurkan agar pemohon menempuh legislative review ke DPR. Ridaya pun belum tahu apakah mengambil langkah ini atau tidak. Tapi sarannya kepada masyarakat Banggai untuk bersabar patut didukung. Sepahit apapun putusan, sudah semestinya setiap warga negara mentaatinya. Apalagi, putusan MK ini bersifat final dan mengikat.(Ali/CRY)
Sumber www.hukumonline.com (20 Juni 2008)
Foto Dok Humas MK