Oleh: Moh Mahfud MD
Hakim Mahkamah Konstitusi
Senin, 16 Juni 2008
Sebenarnya kepekaan rasa kaget masyarakat kita terhadap berita tentang korupsi sudah agak imun atau bahkan tumpul. Sebab, hampir tiap hari muncul berita baru tentang korupsi yang fantastik.
Tetapi berita pembicaraan telepon pejabat tinggi di Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun), Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel), dan (mantan) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) dengan terdakwa kasus penyuapan Artalyta Suryani (Ayin) ternyata mampu menyentak dan membangkitkan lagi saraf kaget masyarakat. Isi pembicaraan telepon itu mengarah pada kesimpulan bahwa mereka telah memainkan sesuatu dengan Ayin.
JAM Datun terang-terangan menyarankan Ayin agar berbohong dengan mengatakan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa uang yang diserahkan kepada Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) itu adalah bantuan berobat untuk anak UTG yang sedang sakit. Tetapi sesudah diberitahu uang itu berjumlah Rp 6 miliar, baru dia mengatakan akan diskenariokan "penangkapan" Ayin oleh kejaksaan.
Kata diskenariokan sulit diartikan bahwa Ayin akan ditangkap "karena penerima suap ditangkap, sedangkan penyuap tidak ditangkap." Orang Kejaksaan Agung pasti tahu, seperti juga dalam kasus Irawady Joenoes dan Al Amin, penyuap pun akan ditangkap KPK tanpa perlu diskenario ditangkap oleh kejaksaan.
Yang lebih menusuk adalah pembicaraan Ayin dan mantan JAM Pidsus. Ketika KPK baru menangkap UTG dan Ayin, JAM Pidsus (sebelum jadi mantan) mengatakan tidak tahu-menahu dan tak punya hubungan dengan urusan Ayin. Eh, ternyata jauh sebelum itu mereka sudah telepon-teleponan dalam urusan itu. Isi pembicaraan telepon mereka pun agak menjijikkan. Kesannya, seorang pejabat tinggi penegak hukum "melapor" (bukan menginformasikan) kepada seseorang yang mengorder pekerjaan.
Kalau alasan JAM Pidsus informasi, apa perlunya? Toh beritanya sudah tersebar di media massa? Dikaitkan dengan pernyataan yang bersangkutan saat awal kasus Ayin-UTG dibongkar, penjelasan mantan JAM Pidsus soal "menginformasikan" ini menjadi tak nyambung sama sekali. Kita yakin, Jaksa Agung tidak bodoh untuk percaya kepada "penjungkirbalikan" logika dalam keterangan seperti itu.
Kini Kejaksaan Agung mulai memeriksa mereka dan siap melakukan tindakan tegas jika mereka bersalah. Tetapi setegas apa pun tindakan Jaksa Agung nanti, sesuai kewenangannya, itu terbatas pada tindakan administratif berupa pemecatan atau mutasi.
Padahal, kini banyak pejabat tinggi yang tak takut kepada hukuman pemecatan, apalagi hanya dimutasi. Sebab uang korupsi yang mereka peroleh jauh lebih besar dibanding dengan gaji sebagai pejabat dan pegawai negeri selama 50 tahun sekalipun. Mengharap mereka malu juga tak bisa karena mereka sudah tak punya rasa malu lagi.
Oleh sebab itu, KPK harus meneruskan kasus ini dengan tegas dan menuntut mereka dengan hukuman berat. Kalau perlu, pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman mati.***
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=202265
Gambar: dok. Humas MK