JAKARTA (Suara Karya): Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku.
Alasan majelis hakim pimpinan Jimly Asshiddiqie, pemohon (Abdul Hamid Rahayaan, Gasim Renuat, dan Abdul Gani Refra) yang mengklaim sebagai Raja (masyarakat hukum adat) Lor Lim (Lim Itel), Dullah, serta Lo Ohoitel, tidak dapat menunjukkan kapasitasnya sebagai pemohon mewakili kesatuan masyarakat hukum adat setempat.
Tidak itu saja, pemohon juga tidak dapat membuktikan secara spesifik adanya kerugian hak konstitusional akibat berlakunya UU No 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual.
"Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga permohonan para pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima," kata Ketua Majelis Hakim Jimly Ashhiddiqie saat membacakan amar putusannya di Gedung MK, kemarin.
Mengenai kesimpulan akan tiadanya kerugian konstitusional bagi pemohon, papar majelis hakim, itu berkaitan dengan wilayah laut yang sulit memastikan dengan jelas substansi dan batas-batasnya. Sebab, pada wilayah laut diberlakukan banyak ketentuan perundang-undangan.
"Pemohon seharusnya membuktikan hak tradisionalnya atau konstitusinya secara spesifik. Pemohon juga seharusnya membuktikan apakah hak tradisional tersebut sebagai hak untuk menguasai wilayah laut ataukah hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya laut itu. Selama persidangan hal itu tidak dapat ditunjukkan pemohon," tutur Jimly.
Hak-hak tradisional tersebut, kata Jimly lebih lanjut, harus dibuktikan keberadaannya, sifat dan cakupannya secara khusus, dan spesifik sebagai hak pemohon. Sebab, bukan tidak mungkin ada hak kesatuan masyarakat hukum adat lain, hak pemerintahan daerah, dan hak pemerintah pusat di wilayah laut.
Majelis hakim membeberkan bahwa pada persidangan sebelumnya ada pula saksi yang mempersoalkan kapasitas Gasim Renuat selaku pemohon yang mengklaim sebagai Raja Dullah. Saksi itu adalah kakak kandung Gasim sendiri, HN Renuat.
Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Mahmud Muhammad Taher juga menyatakan bahwa Gasim Renuat bukanlah Raja Adat, tetapi pejabat Kepala Desa Dullah. Gubernur Maluku pun menyatakan hal serupa. Bahkan disebutkan bahwa pembentukan Kota Tual telah mendapat dukungan dari para pimpinan adat, yaitu dukungan para raja (Rat) Kabupaten Maluku Tenggara sesuai Surat Nomor 05/Prov/IV/2005 tertanggal 11 Maret 2005.
"Mengingat adanya sanggahan saksi HN Renuat dan keterangan Gubernur Maluku selaku pihak terkait, sementara pemohon tidak mengajukan bantahan, maka majelis berkeyakinan pemohon bukanlah raja sebagaimana dinyatakannya," kata Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membaca pertimbangan majelis hakim.
Oleh sebab itu, kata Palguna, MK berpendapat keterangan yang disampaikan oleh saksi HN Renuat dan Gubernur Maluku sebagai keterangan yang benar.
Persoalan "perebutan" posisi raja mengakibatkan legal standing tak terpenuhi. MK sendiri berpendapat kesatuan masyarakat hukum adat sudah memenuhi ciri yang telah ditetapkan. Yaitu, keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Menanggapi putusan MK itu, penasihat hukum pemohon, Nazaruddin Salam, menyatakan keberatannya. Ia berpendapat, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Pasal 18 b ayat (2) UUD 1945.
Sayangnya, kata Nazaruddin, permintaan pemohon untuk diatur melalui perda ditolak oleh DPRD. "Faktanya, sampai saat ini DPR belum membentuk UU pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tertentu," ujarnya.
Nazaruddin mengungkapkan perjuangan kliennya untuk diakui melalui perda. "Masalahnya, sampai saat ini perda tersebut belum disusun oleh DPRD Kabupaten Tual. Padahal, Bupati Tual sudah mengajukan rancangannya sejak tahun 2005," tuturnya. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com (19 Juni 2008)
Foto Dok Humas MK