Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu), Selasa (10/6), pukul 09.30 WIB di ruang sidang Pleno Gedung MK. Sidang mengagendakan Mendengarkan Keterangan DPR, Pemerintah, dan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah.
Perkara No. 10/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota DPD, perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap pemilihan umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah (di dalamnya terdiri dari para pegiat LSM seperti CETRO, IPC, dan FORMAPPI, serta Seknas Masyarakat Hukum Adat), dan ke empat, ialah warga daerah.
Para Pemohon menerangkan bahwa penghapusan syarat domisili dan syarat non-partai politik dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu merupakan upaya penghilangan norma konstitusi dalam undang-undang. Ketiadaan kedua syarat tersebut, oleh para Pemohon, dianggap telah menyebabkan UU Pemilu menjadi cacat karena ia telah menegasikan keberadaan norma konstitusi bahwa calon anggota DPD dipilih dari setiap provinsi terkait (Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945) dan calon anggota DPD berasal dari perseorangan (Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945).
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945; atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945, sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik; atau menyatakan bahwa Pasal 12 huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945; atau setidak-tidaknya menyatakan Pasal 12 huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22C Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945, sepanjang tidak mengandung syarat harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan dan bukan anggota dan/atau pengurus partai politik.
Sementara itu, Perkara No. 12/PUU-VI/2008 dimohonkan oleh partai-partai peserta Pemilu 2004 yang tidak mendapatkan kursi di DPR RI. Antara lain, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia, dan Partai Merdeka dengan Kuasa Pemohon A.Patra M. Zen, S.H., LL.M., dkk. Para Pemohon merupakan partai politik yang tidak memenuhi electoral threshold 3% jumlah kursi di DPR pada pemilu 2004 dan tidak memiliki kursi di DPR sehingga harus membentuk parpol baru atau bergabung dengan parpol lain untuk dapat mengikuti pemilu 2009.
Di dalam permohonannya, para Pemohon menerangkan bahwa keberadaan Pasal 316 huruf d UU a quo: âd. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atauâ, dirumuskan dan ditetapkan secara sewenang-wenang dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon. Dengan adanya ketentuan tersebut, partai peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold namun memiliki kursi di DPR tidak mempunyai kewajiban mengikuti verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum dan otomatis dapat mengikuti Pemilu 2009, sementara partai lain yang tidak memiliki kursi di DPR seperti para Pemohon, tidak demikian.
Untuk itu, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 316 huruf d UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 serta menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Dalam persidangan ketiga ini, Pemerintah dalam statement tertulis yang dibacakan oleh Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, menyatakan bahwa pembentukan DPD melalui pemilu dilaksanakan berdasarkan prinsip kesamaan hak dan kedudukan setiap warga negara dalam menggunakan haknya untuk dipilih, sehingga calon anggota DPD tidak dipersyaratkan untuk berdomisili di provinsi yang menjadi daerah pemilihannya dan tidak dibatasi menurut latar belakang atau status politiknya (parpol atau non-parpol). âHal ini sesuai dengan prinsip kesatuan wilayah dan kesamaan kedudukan hukum warga negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,â urai Mardiyanto.
Terhadap perkara No. 12/PUU-VI/2008, Pemerintah menyatakan tidak sependapat dengan anggapan dan/atau dalil-dalil yang dikemukakan oleh para Pemohon, karena jikalau pun anggapan para Pemohon tersebut benar adanya, dan permohonannya dikabulkan oleh MK, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul atas keberlakuan ketentuan a quo tidaklah dapat dipulihkan. âAtau dengan perkataan lain, dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi sangatlah tidak mungkin,â lanjut Mardiyanto.
Sementara DPR dalam keterangannya menyatakan bahwa konsep electoral treshold untuk pemilu 2009 ialah syarat bagi partai politik untuk menempatkan wakilnya di parlemen, bukannya syarat bagi partai politik untuk mengikuti pemilu sebagaimana terjadi pada pemilu 2004 yang lalu. âDengan demikian, menjadi wajar apabila parpol yang memiliki kursi di DPR kemudian ditambahkan di dalam ketentuan peralihan karena mereka berhasil menempatkan wakilnya di DPR, terlepas dari sistem penetapan perolehan kursi pada saat itu,â urai Ferry Mursyidan Baldan, mantan Ketua Pansus RUU Pemilu.
Terhadap perkara syarat calon anggota DPD, berdasarkan penafsiran maksud asli (original intent), Ahli dari Pemohon, Denny Indrayana, menyimpulkan dari beberapa kutipan pendapat para pakar (tim ahli) dan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang bertugas mengubah UUD 1945 yang menegaskan adanya maksud syarat keanggotaan DPD seharusnya mempunyai syarat domisili dari daerah yang mewakilinya, karena DPD ialah perwakilan daerah provinsi. Selain itu, lanjut Denny, kesimpulan pendapat juga menegaskan bahwa terdapat perbedaan kriteria representasi antara DPR yang mewakili partai politik dan DPD yang perseorangan. âHal ini untuk menguatkan perwakilan daerah (provinsi) yang bebas dari kepentingan partai politik,â jelas Denny.
Ditinjau dari aspek legal drafting (perancangan perundang-undangan), Ahli dari Pemohon, Hestu Cipto Handoyo, mengatakan bahwa tidak dicantumkannya norma domisili dan non parpol dalam persyaratan peserta pemilu serta tata cara pendaftaran bakal calon anggota DPD merupakan tindakan yang melanggar konstitusi dan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik. Dikatakan melanggar konstitusi, menurut Hestu, karena tidak sinkron dengan Pasal 22C UUD 1945 yang menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu dan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPD ialah perseorangan.
Dari aspek politik, Ahli dari Pemohon, Indra J. Piliang, memaparkan bahwa UUD 1945 diubah dengan konsep kontra-hegemoni, yakni ketakutan atas absolutisme kekuasaan yang sebelumnya berada di bawah kendali Presiden dan MPR RI. âApabila DPD RI diisi oleh anggota parpol, sekalipun mengundurkan diri, maka besar kemungkinannya absolutisme politik akan terjadi, yakni dengan sifat sentralisasi politik di kalangan parpol,â kata Indra.
Senada dengan para ahli di atas, Ahli dari Pemohon, T. A. Legowo, mengatakan bahwa DPD sebagai perwakilan daerah harus beranggotakan orang-orang yang dipilih melalui pemilu di masing-masing daerah provinsi. âAnggota DPD tidak mewakili entitas lain apapun juga, kecuali daerah,â tegas Legowo.
Ahli dari Pemohon, M. Fajrul Falaakh, turut menegaskan bahwa syarat âdari provinsiâ (berapa lama pun) dan syarat âperseorangan bukan parpolâ maupun âperseorangan yang berbeda dari orang parpolâ (dari segi kualitas maupun waktu) menjadi unsur penting dalam sistem pemilihan anggota DPD seperti dikehendaki oleh Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945.
Sedangkan, dari segi bahasa, Ahli dari Pemohon, S. S. T. Wisnu Sasangka, mengkritisi Pasal 22C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: âAnggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.â Kata dari, menurut Wisnu, merupakan preposisi atau kata depan yang menyatakan makna âasalâ. Sedangkan kata setiap pada frasa setiap provinsi menyatakan makna âmasing-masingâ. Dengan demikian, frasa dari setiap provinsi pada ketentuan di atas bermakna bahwa anggota DPD haruslah berasal dari provinsi masing-masing. âJika anggota DPD bukan berasal dari provinsi itu, ia bukan merupakan perwakilan daerah tersebut, melainkan merupakan perwakilan daerah lain,â jelas Wisnu.
Dari perspektif ilmu lembaga dan pranata hukum, satu-satunya Ahli dari Pemerintah, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan anggota DPD sebagai pejabat politik dibandingkan dengan pejabat kepala daerah, jika dilihat dari sisi fungsi, DPD bekerja memperjuangkan kepentingan daerah melalui kebijakan nasional. Sedangkan kepala daerah, memperjuangkan aspirasi daerah lewat kebijakan daerah berupa peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Level âmedan pertempuranâ kepala daerah bersifat lokal sedangkan DPD bersifat nasional. âUntuk menjawab syarat domisili, masih layakkah seseorang yang bekerja di level nasional untuk kepentingan daerah, masih mensyaratkan domisili?â tanya Zudan.
Padahal, lanjut Zudan, kepala daerah yang bertugas memperjuangkan kepentingan daerah dalam konteks lokal, tidak mensyaratkan keharusan domisili (Pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Selain itu, mencermati Peraturan DPD RI nomor 1/DPD/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan DPD RI nomor 1/DPD/2005 tentang Kode Etik DPD RI, Zudan mencantumkan Pasal 6 ketentuan tersebut pada awalnya menyatakan: âAnggota bertanggung jawab memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerahnya dalam kerangka NKRI.â Kemudian diubah menjadi:
(1) Anggota bertanggung jawab memperjuangkan masyarakat dan daerah dalam kerangka NKRI.
(2) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.
Dihapuskannya kata nya dari kata daerah dalam kalimat daerah dalam kerangka NKRI menunjukkan bahwa anggota DPD tak lagi berpikir lokalitas. Untuk itu, Zudan berpendapat bahwa asas domisili justru berbahaya bagi NKRI. DPD, menurut Zudan, yang berjuang dalam level nasional, justru harus bersama-sama memperjuangkan daerah dengan membuat semacam platform nasional pemerintahan dalam negeri atau membuat standar pemekaran daerah secara nasional. âItulah konteks perjuangan DPD mewakili daerah dalam skala nasional,â papar Zudan.
Isu hukum kedua, dengan menyandangkan asas persamaan di hadapan hukum, sambung Zudan, sebagai sesama subyek hukum, siapapun nanti yang akan menduduki DPD baik memiliki afiliasi politik atau tidak, serahkan saja semuanya kepada rakyat untuk memilih dan biarkan para calon anggota DPD itu berkontestasi. âDi situlah esensi demokrasi. Jika rakyat sudah muak dengan parpol, tentunya mereka tidak akan memilih calon dari parpol,â ujar Zudan.
Terkait dengan bisa-tidaknya MK menguji norma yang tidak tercantum dalam undang-undang, Zudan mengemukakan bahwa substansi peraturan perundang-undangan antara lain terdiri dari norma perintah (gebod), norma larangan (verbod), norma pembebasan (dispensasi), norma izin (toestemming), dan norma kebolehan. âBila norma itu belum menjadi materi dalam perundang-undangan, maka belum dapat diuji berdasarkan batu uji peraturan yang lebih tinggi,â kata Zudan mengakhiri pemaparannya. (Wiwik Budi Wasito)