by : Yeffri Yundiarto Prahadi
Undang-Undang Pengendalian Tembakau dapat mengawal program penciptakan lingkungan hidup sehat dan bebas dari asap rokok. Sayang, Badan Legislasi DPR belum melihat urgensi UU tersebut.
Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengatakan, DPR masih berjuang memasukkan pembahasan RUU itu dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009 atau periode berikutnya. Kehadiran UU itu sangat penting karena pemerintah belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control).
Indonesia menjadi satu-satunya negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi kerangka kerja konvensi tersebut. Padahal, pemerintah sejak awal terlibat aktif dalam perumusan rancangan konvensi yang menargetkan penurunan konsumsi tembakau itu.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menambahkan, harus ada langkah konkrit untuk mendorong terciptanya lingkungan yang bersih dari asap rokok. Salah satunya adalah menaikkan cukai rokok menjadi 60 persen dari harga jual.
Menurut dia, cukai rokok di tanah air masih tergolong rendah yaitu 35 persen. Cukai rokok di Jepang mencapai 61 persen, India (72 persen), Thailand (75 persen), Filipina (64 persen), dan Malaysia (57 persen). Kontribusi cukai rokok terhadap penerimaan negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun lalu, penerimaan dari cukai rokok mencapai Rp43,8 triliun, atau naik dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp38,4 triliun.
âCukai yang tinggi agar warga miskin dan anak-anak yang membeli rokok berkurang karena kemampuan keuangan mereka terbatas,â kata dia di Jakarta, Sabtu (31/5).
Namun demikian, Ribka mengharapkan kebijakan untuk menaikkan cukai rokok tidak boleh menghambat pertumbuhan industri rokok nasional. Alasannya, industri itu juga menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Indonesian Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika menambahkan, meskipun rokok lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya, industri itu terbukti menyerap banyak tenaga kerja.
âHarus dipikirkan nasib puluhan ribu buruh pabrik rokok yang akan menganggur bila perusahaan harus menutup bisnis,â ujar dia.
Beberapa poin penting dalam Konvensi Pengendalian Tembakau adalah pengendalian pajak dan harga, iklan dan promosi, pemberikan label: peringatan kesehatan dan istilah yang menyesatkan, serta pengaturan udara bersih dan bebas asap rokok.
Tulus menegaskan, penayangan iklan rokok di media cetak, elektronik, dan lainnya harus dibatasi. Alasannya, remaja merupakan kelompok masyarakat yang rentan tergoda menjadi pecandu rokok. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia tahun 2006 menunjukkan, 24,5 persen remaja pria usia 13-15 tahun merupakan perokok. Bahkan, 3,2 persen diantaranya sudah kecanduan. Yang lebih mengkhawatirkan, 3 dari 10 pelajar telah mencoba merokok sejak di bawah usia 10 tahun.
Sumber: www.jurnalnasional.com
Gambar: http://kampanye.files.wordpress.com/2007/06/040607-antirokok.jpg