Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan Pengujian Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK), Rabu (4/6), di ruang Sidang Panel Gedung MK. Perkara Nomor 16/PUU-VI/2008 ini ditangani oleh Ketua Panel Hakim, Maruarar Siahaan dengan Moh. Mahfud MD dan H.A.S. Natabaya sebagai anggota.
Permohonan Pengujian UU KK tersebut diajukan oleh Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus kematian aktivis Munir, dengan Kuasa Hukum Idrus Mony, SH, dan Mohammad Tohir, SH dari Lembaga Reformasi Hukum Indonesia.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 23 Ayat (1) UU KK telah dijadikan dasar pertimbangan hukum oleh Mahkamah Agung (MA) untuk mengabulkan Peninjauan Kembali terhadap perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya terkait ketentuan tersebut.
Pasal 23 Ayat (1) UU KK berbunyi: âTerhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undangâ.
Menurut Pemohon, Pasal 23 Ayat (1) UU KK mengandung cacat konstitusional karena terdapat kalimat âpihak-pihak yang bersangkutanâ, yang dapat menimbulkan penafsiran yang menyesatkan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: â Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pemohon membandingkan ketentuan di atas dengan Pasal 263 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: âTerhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.â
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon minta kepada MK agar Pasal 23 Ayat (1) UU KK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi Permohonan tersebut, Mahfud MD menyatakan apabila pengujian antar undang-undang, yaitu membanding antara satu pasal UU dengan UU lainnya, bukanlah ranah pengujian MK. âMK menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Selain itu dua Perma (Peraturan MA red.) yang dijadikan pokok perkara oleh Pemohon (sebenarnya) adalah kewenangan dari MA, bukan MK,â jelas Mahfud. Kerugian-kerugian yang disampaikan oleh Pemohon, lanjut Mahfud, justru lebih menitikberatkan pada proses pemeriksaan di MA.
Sementara itu, Natabaya meminta Kuasa Hukum Pemohon untuk melakukan komparasi dengan UUD negara lain mengenai due process of law terkait Pasal 23 Ayat (1) UU KK yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. âSelain itu, mengenai kerugian Pemohon akibat proses beracara di MA yang tidak sesuai dengan peraturan, MK tidak mempunyai kewenangan memeriksa hal tersebut,â tandas Natabaya.
Sedangkan, Maruarar meminta Pemohon memberikan argumentasi hukum untuk memperkuat alasan MK menghapus pasal a quo yang juga memayungi hukum perdata, bukan hanya pidana sebagaimana yang dipermasalahkan Pemohon. âUU No. 4 Tahun 2004 bersifat generik tidak hanya memayungi masalah pidana tapi juga masalah perdata. Kami minta Pemohon jelaskan, di mana letak pertentangannya,â Tanya Maruarar.
Secara keseluruhan, Majelis Panel Hakim menilai Permohonan Pemohon belum jelas. Untuk itu, Majelis memberikan waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Andhini Sayu Fauzia)