Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap UUD 1945, Rabu (4/6), di ruang Sidang Panel MK dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Perkara ini dimohonkan oleh Gubernur Lampung, Drs. H. Sjachroedin ZP, S.H. yang merasa pemberlakuan Pasal 58 huruf q dan penjelasan dari UU a quo, serta Pasal 233 Ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 telah menyebabkan kerugian konstitusional pada diri Pemohon.
âDengan mengatur bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya (incumbent) harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, Pemohon memandang Pasal 58 huruf q dan penjelasan UU a quo diskriminatif,â jelas Kuasa Hukum Pemohon, Susi Tur Andayani. Ada tiga alasan mengapa pasal tersebut dipandang diskriminatif. Pertama, UU ini memberikan aturan yang berbeda terhadap pejabat publik lainnya yang bukan incumbent.
âDi samping itu, UU ini pun hanya berlaku bagi jabatan kepala daerah dan wakilnya. Tidak semua pejabat publik yang ikut dalam calon pemilihan diperlakukan sama dengan Pasal 58 huruf q dan penjelasan UU a quo. Dengan demikian pemberlakuan Pasal beserta penjelasannya tersebut bertentangan dengan asas persamaan yang tergabung dalam asas pemerintahan yang layak, yang mengharuskan perlakuan yang sama bagi setiap warga negara,â tambah Susi.
Alasan ketiga, masa jabatan Pemohon sebagai Gubernur Lampung berakhir 2 Juni 2009 sedangkan Pemohon mendaftarkan diri untuk ikut calon Pilkada tanggal 28 Mei 2008. Dengan demikian, Pemohon beralasan pemberlakuan Pasal 58 huruf q dan Penjelasan Pasal 58 huruf q UU a quo sepanjang anak kalimat âyang tidak dapat ditarik kembaliâ sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, karena jika Pemohon ikut dalam pencalonan Pilkada maka hak Pemohon menjabat sebagai Gubernur akan hilang seandainya dalam Pilkada Pemohon tidak lagi terpilih.
Mengenai Pasal 233 UU a quo, Pasal tersebut dinilai telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan (5) UUD 1945. âPemberlakuan Pasal tersebut telah merampas hak Pemohon selama lebih dari satu tahun untuk menyelesaikan jabatan sebagai Gubernur Lampung. Masa jabatan Pemohon sesungguhnya baru akan berakhir 2 Juni 2009. Namun karena pada 28 Mei 2008 Pemohon mendaftarkan diri untuk ikut Pilkada, Pemohon harus mengundurkan diri dari jabatannya,â ungkap Susi mengenai kerugian konstitusional kliennya.
Dengan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK melalui amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 58 huruf q UU Pemda beserta penjelasannya dan Pasal 233 Ayat (2) UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945. Di samping itu, dalam diktumnya Pemohon juga meminta MK memerintahkan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk menunda mengeluarkan segala bentuk keputusan yang berkaitan dengan UU No. 12/2008 yang saat ini sedang dalam proses hukum di MK dan memulihkan Pemohon kepada kondisi semula.
Terhadap diktum-diktum Pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dan H.A.S. Natabaya menyatakan bahwa MK tidak berwenang untuk memberi perintah kepada Presiden, seperti diktum Pemohon.
âSesuai Pasal 55 UU MK, kami memang dapat meminta Mahkamah Agung (MA) menghentikan pengujian peraturan perundangan di bawah UU bila UU tersebut sedang dalam proses pengujian di MK. Namun, sekali lagi, UU ini kaitannya dengan MA. UU ini tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk memerintahkan Presiden,â terang Mahfud.
Kemudian, terkait alasan Pemohon mengenai kerugian konstitusionalnya, Natabaya menyatakan bahwa penggunaan istilah âdiskriminatifâ dalam berkas Permohonan kurang tepat untuk digunakan.
âIstilah diskriminatif ini punya arti khusus dalam hukum HAM. Karena itu perkara ini jangan dikaitkan dengan diskriminasi, karena perkara ini kaitannya justru dengan asas persamaan,â jelas Natabaya. Dengan demikian, keberadaan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu alat uji Permohonan, kurang tepat untuk dimasukkan.
Demikian juga dengan keberadaan Pasal 28I Ayat (5), Hakim Konstitusi, Harjono, mempertanyakan korelasi antara permohonan Pemohon dengan pasal ini. âTidak masalah jika Pemohon hanya mencantumkan satu pasal saja dalam UUD 1945 sebagai alat uji. Yang penting, Pemohon dapat membuktikan bahwa haknya sesuai Pasal tersebut memang telah dilanggar dengan keberadaan suatu UU,â tandas Harjono. (Kencana Suluh Hikmah)