Pemerintah dan DPR mulai duduk seruang untuk membedah tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang peradilan. Ketiganya adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung (RUU MA), RUU tentang Perubahan atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) dan RUU tentang Perubahan atas UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial (RUU KY).
Melalui Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan tekadnya untuk menuntaskan revisi ketiga RUU itu dengan tepat waktu. "Presiden menyambut baik dan siap melakukan pembahasan," ungkap Andi Matallatta, dalam rapat kerja dengan Komisi III (bidang hukum, perundangan, HAM dan keamanan) DPR, Senin (2/5).
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan menyatakan bahwa ketiga RUU ini akan dibahas berbarengan. Hal ini dilakukan semata-mata agar ketiganya bisa sinkron. "Sekarang kami tinggal menunggu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dari pemerintah untuk dibahas bersama," ujarnya.
Inisiatif untuk merevisi tiga RUU ini datang dari DPR. Salah satu tujuannya agar terjadi harmonisasi antara MA, MK dan KY. Pada 4 Januari lalu, melalui sepucuk surat, Ketua DPR menyampaikan ketiga draft RUU tersebut kepada presiden. Karena menjadi RUU prioritas dalam Prolegnas, kedua pihak sepakat untuk menuntaskan pembahasan tiga RUU ini dalam masa sidang sekarang.
Secara umum, usulan revisi yang disampaikan DPR bisa diterima pemerintah. Namun pemerintah belum deal terhadap beberapa persoalan. Hal itu terungkap dari pandangan presiden yang dibacakan Andi.
Mengenai RUU MA, pemerintah mengusulkan agar batas usia pensiun Hakim Agung diperpanjang dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Di pasal 11 ayat (1) RUU MA, DPR masih mematok usia pensiun Hakim Agung 65 tahun. Namun DPR menghapus satu pasal tentang perpanjangan usia pensiun Hakim Agung.
Pemerintah juga mempersoalkan ketentuan mengenai pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim Agung. "Mengapa dibedakan alasan pemberhentian tidak dengan hormat Ketua dan Wakil Ketua MA serta Ketua Muda MA?" kata Andi.
Pasal 11A ayat (1) RUU MA menyatakan, Hakim Agung hanya dapat diberhentikan dengan tidak hormat, salah satunya, bila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Ketentuan serupa yang tercantum di Pasal 12 ayat (1), yang diberlakukan kepada Ketua dan Wakil Ketua MA serta Ketua Muda MA, justru dihapus oleh DPR.
Pemerintah juga keberatan terhadap rumusan pasal 11A ayat (2) dan Pasal 12 ayat (1a). Di kedua pasal itu tercantum ketentuan bahwa usul pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim Agung dan pimpinan MA disampaikan MA kepada DPR untuk diteruskan kepada Presiden.
Pemerintah menilai DPR tidak perlu terlibat dalam pemberhentian Hakim Agung dan pimpinan MA. Menurut pemerintah, pemberhentian itu termasuk lingkup profesi yang menjadi urusan internal MA dan KY.
Minta Kewenangan MK Ditambah
Tentang RUU MK, pemerintah mengusulkan agar kewenangan MK ditambah satu. "Yakni memutus perselisihan tentang hasil pemilihan kepada daerah dan wakil kepala daerah," ujar Andi. Kewenangan ini bisa dimasukkan ke dalam Pasal 1 angka 3 RUU MK.
Demi kepastian hukum, pemerintah juga menyarankan agar persyaratan menjadi Hakim Konstitusi diperjelas lagi. Pasal 16 ayat (1) huruf e RUU MK menyatakan, salah satu syarat menjadi Hakim Konstitusi adalah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut pemerintah, seharusnya rumusan pasal itu ditambahi dengan frasa "karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih."
Di samping itu, pemerintah juga mempersoalkan pasal 27B RUU MK mengenai kewajiban dan larangan Hakim Konsitusi. "Ketentuan tersebut sebaiknya tidak diatur dalam RUU karena merupakan materi untuk diatur dalam kode etik," kata Andi.
Selenjutnya, mengenai RUU KY, pemerintah tidak setuju dengan ketentuan Pasal 22 ayat (6a). Pasal itu mengatur pengenaan sanksi terhadap pimpinan MA sesuai perundang-undangan di bidang kepegawaian. Pemerintah menilai, ketentuan itu tidak dapat diberlakukan terhadap pimpinan MA karena pimpinan MA adalah pejabat negara bukan PNS. "PP No 30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS hanya berlaku untuk PNS," Andi menjelaskan.
Pasal 23A mengenai dugaan pelanggaran yang dinyatakan tidak terbukti juga mendapat sorotan pemerintah. "Agar diatur pula proses atau tatacara melakukan rehabilitasi yang diatur dalam peraturan KY," saran Andi.
Satu hal lagi yang tidak direstui pemerintah adalah ketentuan mengenai penjatuhan sanksi dan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim yang tercantum di Pasal 25A. Agar bisa memberi penilaian secara objektif, pemerintah mengusulkan agar anggota Majelis ini tidak hanya berasal dari KY dan MA, tapi juga dari akademisi. (Her)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id