Pasangan capres-cawapres nanti bisa nongol di layar kaca secara gratis untuk menyampaikan visi-misinya. Anggarannya dibebankan kepada negara.
Duduk di hadapan puluhan pemburu berita, jenderal yang sudah purnawirawan itu sama sekali tidak menunjukkan mimik militernya. Senyum ramah sesekali ia umbar. Ia juga tidak pelit bicara layaknya tentara. âSaya hanya melakukan pembelajaran politik bagi negeri ini,â ujar Wiranto, sang jendral purnawirawan itu, di press room DPR, Jumat (30/5).
Orang nomer satu di partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) ini belakangan kembali menjadi sorotan publik. Tak lain setelah ia memposisikan diri sebagai The Challenger. Yah, secara dini ia menantang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk berduel melalui ajang politik-pencitraan di media massa.
Mulanya, pertengahan Desember tahun lalu, Wiranto membeber jumlah rakyat miskin yang kian bertambah. Angka yang ia pakai berselisih jutaan dari angka resmi yang dimiliki Badan Pusat Statistik. Versi Wiranto, 49 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Tapi Versi BPS, penduduk miskin negeri ini cuma 16,5 persen.
Wiranto kian gencar melancarkan serangan fajar tatkala pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Sebuah iklan separuh halaman ia pampang di media massa nasional. Di iklan itu terdapat kalimat: âSemoga SBY Tepat janji Tak Menaikkan Harga BBM. Karena penduduk miskin akan bertambah, karena keresahan sosial akan meluas, karena masih ada solusi lain. Kami mengimbau pemerintah pertimbangkan kembali rencana kenaikan harga BBM, apalagi SBY pernah berjanji tak menaikkan BBM kembali. Jika pemimpin berjanji, selayaknya janji itu ditepati.â
âSaya tidak bermaksud menyerang siapapun. Niat saya mengingatkan kepala negara,â Wiranto membela diri. Ia menegaskan bahwa apa yang dituangkannya di iklan itu berdasarkan data yang ia peroleh dari media massa.
Tapi Presiden SBY punya pandangan lain soal iklan itu. Melalui juru bicaranya, Andi Mallarangeng, presiden membantah telah mengeluarkan statemen itu. âData yang dipakai tidak akurat. Tidak ada kutipan langsung dari pernyataan presiden,â ujarnya. âApakah itu termasuk black campaign atau tidak, silahkan masyarakat yang menilai.â
Politik pencitraan yang dilakukan oleh sejumlah tokoh melalui media massa memang kian menjadi-jadi belakangan ini. Wiranto hanya salah satu bakal capres yang berusaha mendulang popularitas melalui media massa. Tokoh lain yang berusaha melakukan hal yang sama di antaranya Sutrisno Bachir dan Prabowo Subianto.
Dari perspektif komunikasi politik, hal itu tentu oke-oke saja. Namun dari kaca mata hukum, perlu diblejeti apakah iklan-iklan itu tergolong kampanye atau tidak. Dalam hal ini, patokannya tentu saja Undang-Undang yang mengatur soal pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ferry Mursyidan Baldan, ketua Pansus RUU Pilpres, mengatakan bahwa iklan-iklan politik di media massa sekarang belum tergolong kampanye yang resmi. âIni menjadi domain pemasang iklan dan media massa,â kata Ferry. Yang bisa menilainya adalah Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia. Yang jelas, pada saatnya nanti, iklan-iklan seperti itu akan di-stop. Pasangan capres dan cawapres dipersilahkan mengunduh simpati publik hanya pada waktu-waktu tertentu, baik dengan iklan maupun melalui debat publik.
Merujuk kepada pasal 55 RUU Pilpres, kampanye pilpres dilaksanakan tiga hari setelah KPU menetapkan nama-nama peserta pilpres hingga dimulainya masa tenang. Khusus kampanye melalui rapat umum dan debat publik dilaksanakan selama 30 hari dan berakhir sampai masa tenang tiba.
Kampanye melalui media penyiaran diatur secara tersendiri. Pasal 56 RUU ini menyebutkan, media cetak dan elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh pasangan calon untuk memasang iklan kampanye. Kesempatan yang sama juga harus diberikan dalam hal penyampaian tema dan materi kampanye.
Dalam masa tenang, sesuai pasal 57, media dilarang menyiarkan kampanye dalam bentuk apapun yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Jika ketentuan ini dilanggar, ada sanksi yang rinciannya akan diatur dalam peraturan KPU. âSemua pasangan nanti akan diberi kesempatan yang sama untuk tampil dalam debat publik di media penyiaran. KPU akan memfasilitasinya dengan anggaran dari negara,â Ferry menjelaskan.
Terobosan ini, menurut Ferry, dimaksudkan agar seluruh pasangan memiliki hak yang sama untuk dikenal masyarakat. Maksud lainnya ialah agar kampanye melalui panggung hiburan bisa terkurangi. Sebab, di panggung hiburan, penyampaian visi-misi biasanya akan nanggung. âMasyarakat lebih suka goyang dangdutnya,â kata Ferry.
Pakar komunikasi Effendy Ghazali mengatakan, sudah waktunya Indonesia meniru model kampanye di Jerman. Di sana, seluruh biaya kampanye di media penyiaran berasal dari pemerintah. (Her)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id