Terlepas kontroversi tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengajak semua warga bangsa untuk memperingatinya dengan memasyarakatkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pemersatu bangsa yang sangat majemuk, baik segi agama, etnis, suku, tingkat ekonomi dan pendidikan, serta keragaman bahasa.
Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di ruang delegasi Ketua MK, Senin (2/6).
Secara substantif, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa bangsa Indonesia ialah bangsa yang mengakui prinsip berketuhanan yang maha esa. âTuhan kita sama. Tuhan yang Maha Esa. Hanya Tuhan kita diekspresikan dengan banyak nama, melalui banyak simpul, rupa bentuk, dan corak agama yang diyakini oleh masing-masing,â papar Jimly.
Untuk itu, Jimly berpesan, janganlah rakyat Indonesia tidak menyadari keragaman bangsanya. Para founding leaders pun, lanjut Jimly, sudah menyepakati bahwa rumusan Pancasila adalah suatu hal yang mutlak sebagai pemersatu bangsa.
Konsep pemerintahan dahulu, yaitu Tri Kerukunan Umat Beragama: kerukunan antar umat seagama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah, menurut Jimly, bisa dikembangkan lagi supaya lebih dinamis. Ketika banyak warga bangsa yang mengekspresikan kebebasan secara berlebihan, maka perlu dibangun kesadaran baru tentang pentingnya toleransi dan kerjasama. âKerjasama tersebut berlaku pula untuk antar umat beragama dengan negara, bukan hanya pemerintah,â jelasnya.
Terkait dengan tragedi kekerasan Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB), Minggu (1/6), Jimly berharap kejadian tersebut tak terulang lagi. âHal ini bertentangan dengan Pancasila. Semoga aparat keamanan dapat bertindak tegas untuk menunjukkan bahwa negara ini melindungi segenap warga negaranya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan kita bernegara,â urai Jimly.
Sedangkan, dalam rangka menjaga kebebasan berserikat, bila ada inisiatif untuk membubarkan suatu organisasi (politik, agama, atau masyarakat), Jimly menyarankan untuk menempuh jalur hukum. âPemerintah jangan mengambil keputusan. Terkait konflik, yang memutus final adalah hakim. Maka, pihak pemerintah bisa mengambil jalan hukum lewat pengadilan,â ujarnya.
Untuk pembubaran partai politik, jalur hukumnya melalui MK. Sedangkan untuk organisasi non partai politik, lewat peradilan umum.
Terkait rencana pembubaran Ahmadiyah, Jimly tidak sepakat bila negara turut campur karena ini termasuk persoalan internal umat Islam. Jimly berpendapat, selain menempuh jalur hukum, sebaiknya tokoh-tokoh umat Islam merundingkan persoalan tersebut dengan semangat toleransi. âIni supaya ada dialog dan kerjasama internal umat Islam. Itu yang lebih penting,â tegas Jimly.
Sebelum mengakhiri keterangannya, Jimly menghimbau semua kelompok Islam untuk menenangkan suasana, saling mawas diri, dan tidak terprovokasi, serta sebaliknya, justru harus menyebarluaskan optimisme kepada semua warga bangsa bahwa persatuan itu masih ada, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sampai saat ini, kata Jimly, ada empat pilar kebangsaan yang dianut oleh Indonesia, antara lain, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945, dan Pancasila. âEmpat hal ini abadi. Mudah-mudahan menjadi pegangan pokok kita untuk selama-lamanya,â harap Jimly. (Wiwik Budi Wasito)