JAKARTA (Suara Karya): Seluruh kasus korupsi baik yang disidik kejaksaan maupun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan disidangkan di Pengadilan Tipikor yang berada di lingkungan peradilan umum. Hal ini dilakukan sesuai prinsip kesamaan hak di depan hukum.
Demikian disebutkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang telah selesai disusun oleh pemerintah. Saat ini RUU tersebut sudah di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Demikian dikemukakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Dirjen PP) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM) Abdul Wahid dalam percakapan dengan Suara Karya, di ruang kerjanya, Selasa (27/5).
"Nantinya Pengadilan Tipikor tidak hanya menyidangkan perkara-perkara korupsi yang dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK, tapi juga mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan oleh kejaksaan," kata Abdul Wahid.
Namun demikian, lanjutnya, RUU Pengadilan Tipikor yang sudah di tangan Presiden sebelum diserahkan ke DPR masih dipresentasikan oleh Menkum dan HAM Anddi Mattalatta di hadapan Presiden dalam sidang kabinet terbatas.
Abdul Wahid mengatakan, sampai saat ini Menkum dan HAM belum mempresentasikan RUU Pengadilan Tipikor tersebut karena masih menunggu jadwal dari Presiden. "Biasanya RUU yang mendapat perhatian publik, lebih dahulu dipresentasikan dalam rapat kabinet terbatas," katanya.
Sebagaimana diberitakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2006 memberikan waktu kepada pemerintah dan DPR selama tiga tahun untuk membuat UU Pengadilan Tipikor. MK menilai, telah terjadi dualisme dalam mengadili kasus-kasus korupsi di Indonesia, dan hal itu menimbulkan ketidakadilan.
Wahid membenarkan bahwa tenggat waktu yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor hanya tiga tahun, yakni sampai 2009. Sehingga, waktu yang efektif untuk menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor tinggal satu setengah tahun.
"Jadi, jangka waktu yang satu setengah tahun lagi tidak terlalu panjang mengingat kesibukan DPR pada tahun ini akan lebih tersita terutama menjelang pemilu 2009," ujarnya.
Meski demikian, kata dia, jika pemberantasan korupsi menjadi komitmen bersama, maka hal itu tidak menjadi masalah," katanya.
Kepala Divisi Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, jika ada perubahan dalam penanganan kasus-kasus korupsi seperti itu, patut disambut positif. "Kita akan terus mendukung dan memonitoring sampai disahkan menjadi undang-undang," katanya.
Meski demikian, untuk mempersatukan dualisme pengadilan kasus korupsi yang selama ini terjadi itu, kata Emerson, tetap harus dilakukan pembatasan-pembatasan.
"Misalnya, penanganan kasus-kasus korupsi yang nilainya di atas satu miliar, bisa dilakukan melalui Pengadilan Tipikor. Tetapi kalau jumlah uang yang dikorupsi di bawah satu miliar, saya kira tetap dilakukan di pengadilan negeri," katanya. (Lerman Sipayung/Sugandi)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id